Mohon tunggu...
Muhammad Rizal Fadhilah
Muhammad Rizal Fadhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa STAI Siliwangi Garut

Seorang Faqir Yang Sedang Musafir Suka Membaca, Menulis, dan Merenung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Puasa Dalam Perspektif Filsafat

12 Maret 2025   23:21 Diperbarui: 12 Maret 2025   23:21 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto Editor

Berbicara soal puasa mungkin saya tidak akan membahas puasa menurut alqur'an, hadist ataupun kitab, tetapi mencoba merefleksikan puasa ini melalui perenungan semalaman, beranjak dari kaidah bahwa perintah agama itu tiada lain adalah untuk pendewasaan manusia itu sendiri selama manusianya berfikir.

Bahkan sebagian filsuf muslim juga sepakat, bahwa puasa juga melindungi akal (hifdzul aql) dari kesesatan atau logical fallacy. Karena dengan puasa nafsu bisa menjadi lemah, hingga akal tidak akan terhambat oleh nafsu tersebut, biasanya akal bisa menjadi lemah ketika nafsu yang kuat membelenggu. Sehingga akal dikendalikan oleh hawa nafsu kita, yang kadang membabi buta.

Dengan berpuasa, secara sosial, kita diajak untuk juga merasakan lapar sebagaimana seseorang yang secara ekonomi lemah dan kesulitan merasakan kenyang dalam kesehariannya. Olehnya puasa barangkali memiliki terminologi yang sama dengan "tirakat".
Tirakat sebagaimana puasa bukanlah sekedar upaya untuk menahan lapar dan haus saja, tetapi tirakat adalah sebuah upaya dimana kita mencoba untuk menaklukan "kekarepan" atau hasrat yang oleh Plato sebut sebagai thumos' (hasrat ingin diakui dan ingin dipuji) dan ephitumia (hasrat primitif seperti seks dan makan) yang ada dalam diri kita, sebagai sarana latihan untuk pengendalian diri dan pengenalan pada diri yang sejati atau dalam istilah Ki Ageng Suryamentaram kawaruh jiwa.

Jauh sebelum itu juga, Xenophanes seorang Filsuf aliran elea mengemukakan, untuk menjadi manusia yang mencapai taraf Ketuhanan ialah dengan hidup penuh kesederhanaan dan senantiasa mendidik ruh supaya menjadi orang yang berbudi, salah satu cara untuk mendidik ruh ialah dengan berpuasa.

Menurut Fyodor Dostoyevsky, salah satu sastrawan dan filsuf besar Rusia mengungkapkan bahwa ketaatan dan puasa adalah sebuah jalan untuk mendapatkan kebebasan yang sejati dan kenikmatan spritual, dimana kita memotong keinginan yang tak terkendali dan tidak penting, menundukkan kesombongan dan ketamakan serta menghukumnya dengan kepatuhan.

Dalam hal ini, tirakat dapat dikonseptualisasikan tidak didasarkan atas keseragaman semata sebagaimana puasa bagi kebanyakan orang yang hanya menahan lapar dan haus, namun juga didasarkan atas rasa yang ada di dalam diri setiap orang melalui refleksim. Misalnya, jika saya sering merasakan rasa penyesalan karena terlalu ceplas-ceplos sehingga membuat orang lain kecewa, maka di sini saya harus berpuasa lisan atau menahan lisan saya semaksimal mungkin. Sehingga saya bisa belajar untuk lebih berhati-hati dengan ucapan saya.

Di sinilah bagi saya, letak latihan bagi logos (akal) untuk mengendalikan hasrat thumos dan ephitumia tadi agar dapat mencapai kenikmatan spiritualitas. Olehnya untuk melakukan hal ini, Ki Ageng Suryomentaram membaginya ke dalam 6 rumus praktis, yaitu sebutuhe, seperlune, secukupe, sebenere, semestine, sepenake tanpa bergantung atau dikendalikan oleh hasrat duniawi seperti thumos dan ephitumia, melainkan oleh logos.

Karena bagaimanapun, kita sering menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan. Mati kita ambil contoh. Di bulan puasa ini, setiap sore menjelang magrib - jalanan mulai ramai dengan lapak-lapak yang menjual beraneka macam kue dan minuman terlihat nikmat sehingga membuat kita tertarik untuk membelinya. Namun ketika tiba waktu berbuka puasa terkadang kue dan lauk tersebut tidak juga kita habiskan karena kekenyangan.

Itulah contoh di mana kita membeli sesuatu secara berlebihan, dalam pengertian membeli sesuatu yang sebenarnya tidak begitu perlu. Kita cenderung membeli sesuatu berdasarkan ego, bukan berdasarkan pada tujuan utamanya. Jika segelas air putih dan beberapa buah kurma saja sudah cukup, mengapa kita harus membeli banyak makanan?

Inilah yang disebut dengan perilaku konsumtif. Kondisi masyarakat konsumtif inilah yang kemudian dikritik oleh Herbert Marcuse. Meskipun demikian, harus diakui bahwa hidup manusia adalah hidup yang dipenuhi oleh keinginan dan harapan. Hal inilah yang mewarnai hidup manusia dan memberi gairah dalam menjalani kehidupan, meskipun menjadi penyebab utama rasa susah dan senang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun