Pendidikan adalah sektor yang paling fundamental, yang mana bangsa yang maju terlahir dari pendidikan yang bermutu. Pertanyaannya, apakah pendidikan di Indonesia sudah mencapai muara keberhasilannya? Saya kira masih jauh dari kata itu. Pasalnya hal ini terindikasikan oleh beberapa problematika dalam sektor pendidikan yang semakin hari semakin membabi buta. Padahal jika kita tarik ulur ke zaman nenek moyang kita dahulu, pendidikan itu telah dicita-citakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam amanah konstitusi, bagaimana sebuah pendidikan bisa mencipatakan sosok eksponen pembaharu bangsa, tetapi kenyataannya malah jauh dari harapannya.
  Apalagi jika kita mengkomparasikan pendidikan di Indonesia yang notabenenya negara berkembang dengan pendidikan di negara-negara maju, dengan Jepang saja misalnya, sangat jauh perbandingannya. Dimulai dari penegakan kebijakan, penerapan pola pendidikan, hingga metode pembelajaran. Kita memang tidak bisa mengelak atas semua carut-marutnya pendidikan di Indonesia saat ini. Namun, setidaknya kita bisa menyikapinya melalui penalaran yang kritis dan analitis, supaya kita bisa mensiasati apakah kebijakan itu relevan untuk ditegakan hingga memanifestasikan perubahan yang signifikan atau hanya terus menerus menciptakan suatu kebobrokan hingga pendidikan di Indonesia terus mengalami stagnan.
 Saat ini kebijakan yang menuai kontroversi dan polemik hingga hangat diperbincangkan dimulai dari kalangan mahasiswa, akademisi, hingga masyarakat umum. Salah satunya adalah kebijakan yang ditegakan oleh Menteri Keuangan, yakni kebijakan pemangkasan anggaran ditujukan untuk mengefisiensi anggaran sebagaimana termaktub dalam surat intruksi presiden Nomor 1 Tahun 2025. Selanjutnya kebijakan itu ditegaskan melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dilakukan terhadap belanja operasional dan non-operasional di seluruh Kementerian/Lembaga. Dalam Tahun Anggaran 2025 jumlahnya sebesar Rp 256,1 triliun.
Peluang Atau Tantangan?
  Dalam sektor pendidikan sendiri, pemerintah memangkas anggaran pendidikan sebesar 7, 25 triliun demi dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), hal ini terjadi sebuah sistem paradoks saya kira, bagaimana tidak pemerintah lebih mementingkan makanan ketimbang pendidikan, ya analogi sederhananya seperti kita ngasih ikan tetapi kita tidak mengajarkan bagaimana caranya menangkap ikan, seperti halnya terhadap sebuah pohon kita lebih mementingkan daun ketimbang akar, begitulah kira-kira. Bukan saya berarti menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi cobalah pendidikan jangan sampai sirna dari prioritas utama, karena mau bagaimana pun pendidikan adalah fondasi yang paling utama bagi kemajuan sebuah negara.
  Hal ini kiranya justru menjadi sebuah tantangan bagi pendidikan di Indonesia tersendiri, pasalnya pemerintah berencana memangkas anggaran dalam sektor pendidikan agar bertujuan untuk mengefisiensi anggaran supaya efektif ketika anggaran tersebut dialokasikan, singkatnya supaya tidak ada lagi anggaran yang sia-sia ketika dialokasikan. Namun, justru malah menuai kritik karena kebijakan ini berpotensi melanggar amanat konstitusi yang mewajibkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Dari total APBN 3. 621, 3 triliun jika mengacu terhadap amanat konsitusi tentang mendatory spending 20 persen pendidikan seharusnya mendapatkan jatah anggaran sebesar 724, 2 triliun, akan tetapi dengan adanya pemangkasan ini di berbagai kementerian seperti kemendiktisaintek  dan kemendikdasmen justru angka 20 persen ini terancam tak tercapai. Pasalnya dari Kemendiksaintek Rp 33,5 triliun menjadi Rp 26,2 triliun, Kemendiktisaintek dari Rp 57,6 triliun menjadi Rp 43,3 triliun. Â
  Mau bagaimanapun kebijakannya jika ada indikasi melanggar terhadap amanat konsitusi justru malah berpotensi menciptakan tantangan ketimbang peluang, karena amanat konsitusi itu dirancang secara kolektif kolegial, tetapi semakin hari malah dilanggar secara brutal. Coba kita kaji ulang, kiranya dana yang dipangkas 7, 27 triliun itu lebih relevan jika dialokasikan untuk peningkatan kompetensi tenaga pendidik secara masif dengan berbagai pelatihan, atau bisa dialokasikan untuk menaikan gaji tenaga pendidik supaya ekonominya sejahtera. Namun, justru anggaran tersebut malah tidak dialokasikan untuk peningkatan bagi aktor yang paling vital dalam sektor pendidikan, hal ini jelas menjadi sebuah tantangan yang signifikan bagi kemajuan pendidikan.
Dampak Kebijakan Pemangkasan Anggaran Pendidikan  Â
- Infrastruktur Pendidikan Cacat.
 Banyak sekolah Indonesia masih membutuhkan perbaikan dalam infrastruktur mereka, dari ruang kelas hingga pembelajaran fasilitas teknologi perawatan. Pemotongan anggaran dapat menghambat upaya pemerintah untuk meningkatkan lembaga dan infrastruktur pendidikan.
  Â
- Mengurangi Dukungan Sekolah (BOS)Â