Mohon tunggu...
Muh Rizal Chesta Adabi
Muh Rizal Chesta Adabi Mohon Tunggu... 24107030068

Berbagi pemikiran, kisah, dan mengeksplor berbagai fenomena disekitar kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sampah Tak Butuh Maaf, Kita Yang Butuh Kesadaran

13 Juni 2025   18:44 Diperbarui: 13 Juni 2025   18:44 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sampah (MEDIA RELATION PT IMIP/Madi)

Dalam kehidupan modern yang didominasi oleh budaya konsumtif dan serba cepat, sampah telah menjadi bagian tak terhindarkan dari aktivitas manusia. Setiap hari, kita menghasilkan limbah dalam berbagai bentuk: mulai dari sisa makanan, kemasan plastik, hingga barang elektronik yang sudah tidak terpakai. Umumnya, semua itu kita anggap tidak berguna, lalu kita buang tanpa berpikir panjang. Namun, jika kita berhenti sejenak dan memeriksa kembali, akan tampak bahwa sampah sesungguhnya menyimpan potensi besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan, potensi yang bisa mengubah persepsi kita tentang limbah dan masa depan lingkungan kita.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa Indonesia memproduksi lebih dari 60 juta ton sampah setiap tahunnya, di mana sekitar 60% di antaranya adalah sampah organik dan sisanya berupa sampah anorganik seperti plastik, logam, kaca, dan elektronik. Persoalan ini tidak lagi bisa dianggap sepele, terutama ketika TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengalami kelebihan kapasitas. Tumpukan sampah yang menggunung tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga menjadi sumber berbagai masalah kesehatan dan sosial, mulai dari banjir akibat saluran tersumbat, pencemaran air tanah, hingga penyebaran penyakit.

Namun, di balik krisis itu, mulai muncul kesadaran baru bahwa sampah bukan hanya persoalan buangan, melainkan juga sumber daya yang belum tergarap. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai inisiatif dari individu, komunitas, hingga startup lokal telah menunjukkan bahwa sampah dapat diubah menjadi sesuatu yang bernilai. Contohnya, program Bank Sampah yang tersebar di berbagai daerah Indonesia, memungkinkan masyarakat untuk menabung sampah anorganik yang telah dipilah, lalu dikonversi menjadi uang atau kebutuhan pokok. Program ini tidak hanya berdampak pada pengurangan volume sampah, tetapi juga memberdayakan ekonomi rumah tangga terutama bagi kalangan ibu-ibu rumah tangga dan lansia.

Selain itu, munculnya tren upcycling atau mendaur ulang sampah menjadi produk baru yang lebih bernilai turut membuktikan bahwa kreativitas dapat mengubah limbah menjadi peluang bisnis. Di berbagai kota seperti Yogyakarta, Malang, dan Denpasar, komunitas kreatif berhasil mengolah sampah plastik menjadi tas, dompet, bahkan pakaian. Sementara itu, sampah organik seperti sisa sayur dan buah dimanfaatkan menjadi kompos atau pupuk cair yang digunakan untuk pertanian organik. Usaha-usaha kecil ini bukan hanya memberikan solusi lingkungan, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan dan menginspirasi generasi muda untuk bergerak.

Kesadaran ini juga mendorong lahirnya konsep ekonomi sirkular, di mana produk dirancang agar dapat digunakan berulang kali, diperbaiki, dan didaur ulang sebanyak mungkin. Startup teknologi seperti Waste4Change dan Octopus hadir sebagai penghubung antara masyarakat dan pelaku industri daur ulang. Dengan aplikasi digital, warga dapat menjadwalkan penjemputan sampah terpilah dari rumah, lalu sampah tersebut disalurkan kepada pengepul, bank sampah, atau pabrik daur ulang. Ekosistem ini membuat alur pengolahan limbah menjadi lebih efisien dan terstruktur, serta memungkinkan keterlibatan masyarakat dari hulu ke hilir.

Gerakan positif ini juga digaungkan oleh anak-anak muda, khususnya mahasiswa. Banyak kampus kini aktif menginisiasi program green campus dan gerakan zero waste. Mereka menyelenggarakan kegiatan bersih lingkungan, pelatihan daur ulang, lomba kreativitas berbasis sampah, dan edukasi ke sekolah-sekolah serta masyarakat umum. Media sosial pun menjadi alat kampanye yang efektif untuk menyebarluaskan gaya hidup ramah lingkungan. Dengan konten edukatif yang dikemas secara menarik, generasi muda tidak hanya menjadi agen perubahan, tetapi juga motor utama dalam menyebarkan kesadaran kolektif tentang pentingnya pengelolaan sampah secara bijak.

Meski begitu, tantangan dalam mengelola sampah secara sistemik tetap besar. Salah satu kendala utama adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya memilah sampah sejak dari rumah. Di banyak tempat, sistem pengangkutan sampah masih menggunakan pendekatan "angkut dan buang", tanpa proses pemilahan dan pengolahan lebih lanjut. Belum lagi keterbatasan infrastruktur dan kebijakan yang belum merata membuat upaya daur ulang belum bisa diterapkan secara optimal di semua daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dunia pendidikan, dan masyarakat untuk memperkuat sistem pengelolaan limbah yang berkelanjutan.

Di sisi lain, kita juga perlu mengapresiasi para pemulung dan pekerja sektor informal yang selama ini berada di garis depan dalam memilah dan mengolah sampah. Mereka adalah garda terdepan dalam ekosistem daur ulang yang sering terlupakan. Melalui pelatihan, pendampingan, dan perlindungan sosial, peran mereka bisa semakin optimal dan bermartabat. Beberapa LSM telah bekerja sama dengan pemda untuk memberikan akses pelatihan, alat pelindung, dan insentif bagi para pemulung. Upaya ini menunjukkan bahwa jika diberi kesempatan, sektor informal bisa tumbuh menjadi bagian dari solusi lingkungan yang lebih inklusif.

Akhirnya, kita semua perlu memandang ulang nilai sebuah sampah. Ia bukan sekadar buangan, tetapi juga cerminan dari gaya hidup, kebijakan, dan kesadaran kita sebagai individu maupun masyarakat. Sampah bisa menjadi sumber masalah atau sumber berkah, tergantung pada bagaimana kita memperlakukannya. Dengan memperkuat budaya memilah, mendaur ulang, dan mengurangi konsumsi berlebihan, kita tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menanam benih harapan untuk generasi yang akan datang. Maka, saat kita membuang sesuatu ke tempat sampah, mari tanyakan pada diri sendiri: benarkah itu tak berguna, atau kita saja yang belum memberi nilai padanya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun