Mohon tunggu...
Riyan Arthur
Riyan Arthur Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pendidik yang sedang belajar

Pendidik di salah satu sekolah di ibukota

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembangunan SMK Berbasis Infrastruktur Berdasarkan Inpres No 9 Tahun 2016

29 Juni 2019   01:30 Diperbarui: 2 Juli 2019   03:08 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Semenjak diberlakukannya kurikulum tahun 2013 tidak dapat dipungkiri lagi, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memiliki peran penting dalam pembangunan Sumber Daya Manusia. SMK tidak lagi menjadi sekolah "kelas dua" dibandingkan dengan SMA, bahkan keharusan adanya rasionalisasi jumlah SMK dan SMA mulai di tahun yang sama. 

Gelombang kebutuhan akan SMK yang berkualitas dengan rasio yang lebih masuk akal, mulai bergulir lagi semenjak Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo mencanangkan NAWACITA, tidak kurang 3 poin dalam NAWACITA merupakan bagian dari bidang pendidikan.

Terlebih lagi dengan pembangunan yang dimulai dari perbatasan wilayah Indonesia dan pembangunan Infrastruktur di kota-kota besar yang kian marak menjadikan posisi SMK berbasis Infrastruktur menjadi sangat penting.

Terbitnya INPRES No.9 tahun 2016 tentang revitalisasi SMK merupakan jawaban yang sangat cepat dan tepat bagi perkembangan SMK yang belum menunjukkan geliat berarti.

Ditambah lagi dengan masuknya para pekerja asing bidang kejuruan. Di sisi lain lulusan SMK di Indonesia secara kuantitas kurang banyak dan secara kualitas kurang memiliki daya saing.

Dengan terbitnya INPRES tersebut merupakan angin segar bagi perkembangan kualitas SMK. Tempat-tempat PKL, percepatan peningkatan kompetensi guru dan siswa merupakan suatu langkah nyata bagi pembangunan bangsa ini yang kian memandang infrastruktur adalah hal yang utama.

INPRES No. 9 tahun 2016 pada dasarnya menginstruksikan kepada seluruh menteri terkait, Gubernur dan Badan Nasional Sertifikasi profesi untuk: 

1) Mengambil langkah-langkah  yang  diperlukan  sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk merevitalisasi SMK guna meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia. 

2) menyusun peta kebutuhan tenaga kerja bagi lulusan SMK sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dengan berpedoman pada peta jalan pengembangan SMK. Pada Instruksi ini terlihat Presiden ingin mengerahkan kekuatan kabinet, pimpinan daerah dan Lembaga Sertifikasi Profesi untuk sama-sama memperhatikan sektor kejuruan (vokasi). 

Dapat dimaklumi selama ini kementerian terkait sepertinya enggan membantu siswa SMK dalam mengasah kemampuan dan kompetensinya (skill), hal ini diakibatkan lulusan atau siswa SMK masih dipandang sebelah mata, padahal tanpa adanya bantuan dan kontribusi dari kementerian terkait para siswa dan lulusan SMK tidak akan pernah memiliki pengalaman dalam bekerja alih-alih meningkatkan kompetensinya.

Lebih lanjut instruksi ini juga ditujukan pada Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Hal ini sangat relevan mengingat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata.

Seperti telah diketahui, bahwa pada era MEA ini peran sertifikasi dan Badan sertifikasi Profesi sangatlah penting. Di setiap lini pekerjaan selalu dikaitkan dengan standarisasi kompetensi yang disertifikasi oleh badan atau lembaga tersebut. 

Di sisi lain pekerja bidang teknis Indonesia yang umumnya berasal dari SMK dan sektor Informal masih banyak yang belum memiliki sertifikasi. Jika ditinjau lebih jauh lagi dari kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Tenaga Kerja masing-masing memiliki lembaga sertifikasi yang belum terlihat jelas "kavling" atau domain kerjanya. 

Di sisi Kemdikbud ada Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) dan di sisi Kemnaker ada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Hal ini perlu diperjelas seraya memberikan suatu wewenang yang terukur dan transparan.

Kejelasan akan wewenang dan tanggung jawab kedua belah pihak pada ranah kompetensi dari bidang kejuruan atau Vokasi selayaknya menjadi tanggung jawab bersama setelah keluarnya INPRES No.9 tahun 2016 ini. Ke depan tidak boleh lagi ada kesimpangsiuran terhadap pekerja teknis yang berasal dari SMK maupun tenaga informal. Hal ini akan berdampak luas manakala tenaga kerja Indonesia harus berhadapan secara langsung dengan tenaga kerja asing.

Khusus untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ada 6 (enam) poin yang diinstruksikan, yaitu:

  • Membuat peta jalan pengembangan SMK;
  • Menyempurnakan  dan  menyelaraskan   kurikulum SMK dengan kompetensi  sesuai  kebutuhan pengguna  lulusan  (link and match);
  • Meningkatkan jumlah dan kompetensi bagi pendidik dan tenaga kependidikan SMK;
  • Meningkatkan kerja sama dengan Kementerian / Lembaga, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha/ industri;
  • Meningkatkan akses sertifikasi lulusan SMK dan akreditasi SMK; dan
  • Membentuk Kelompok Kerja Pengembangan SMK.

Pada INPRES tersebut terlihat jelas bahwa SMK yang ada di Indonesia dan kebutuhan akan kompetensi yang ada di dunia industri masih tertinggal. Hal ini dapat dibuktikan dengan nomenklatur Kemdikbud (di Dapodik SMK) yang sama sekali kurang mengakomodir kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan. 

Sedangkan di tingkatan provinsi, kebanyakan Gubernur dan kepala daerah di tingkat kabupaten/Kota masih menitikberatkan perkembangan SMK yang berbasis bisnis dan manajemen. Hal ini menunjukkan, kesadaran akan pentingnya SMK berbasis Infrastruktur dan pembangunan daerah masih sangat rendah.

Untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (melalui LPTK) diinstruksikan untuk:

  • Mempercepat penyediaan guru kejuruan SMK melalui pendidikan, penyetaraan, dan pengakuan; dan
  • Mengembangkan  program  studi  di  Perguruan Tinggi untuk menghasilkan guru kejuruan yang dibutuhkan SMK

Pada instruksi tersebut jelas terlihat bahwa, kurang variatifnya program studi di lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) mengakibatkan kurang variatifnya pula kompetensi keahlian lulusan SMK. Jika dikaitkan dengan perkembangan infrastruktur dewasa ini paling tidak dibutuhkan SMK di bidang; Teknik Jalan Raya, Teknik Pembangunan Dermaga, Rekayasa (Teknik) Transportasi dan Teknik Drainase Perkotaan. 

Namun demikian, bukan hanya pembangunan kompetensi keahlian SMK baru yang semestinya menjadi titik berat, tapi juga menumbuhkan minat masyarakat terutama lulusan SMP/SLTP untuk memasuki SMK yang berbasis infrastruktur dalam mengisi kekurangan tenaga kerja teknis maupun operator yang harus ditingkatkan melalui perubahan nomenklatur Kemdikbud.

Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada beberapa masalah yang muncul, yaitu:

  • Minimnya jumlah SMK berbasis Infrastruktur yang mengakibatkan minim juga lulusan SMK bidang tersebut sehingga mengakibatkan lambannya pengerjaan proyek Infrastruktur di mana program ini menjadi program utama Presiden RI. Kondisi ini mengakibatkan masuknya tenaga kerja asing karena kebutuhan akan tenaga kerja di bidang infrastruktur yang terstandarkan (sertifikasi).
  • Peta jalan SMK bidang Rekayasa Infrastruktur terhambat dengan Nomenklatur Kemdikbud baik di tataran SMK, LPTK maupun LSP, yang mengakibatkan persepsi kepada SMK Teknik Rekayasa Infrastruktur menjadi sangat sumir.
  • Link and match masih terjadi antara SMK dengan dunia industri hal ini disebabkan oleh kurikulum yang kurang progresif menyikapi perkembangan dunia ketenagakerjaan.
  • Sarana dan prasarana SMK Teknik Rekayasa Infrastruktur yang masih lemah, terutama di sektor bengkel kerja (workshop)
  • Bidang keahlian yang spesifik tentunya akan membantu para lulusan dalam menerapkan keilmuannya di lapangan kerja.
  • Contoh yang paling jelas adalah ketika wilayah Indonesia yang 2/3-nya adalah laut, namun kompetensi keahlian yang mencakup bidang tersebut sangatlah sedikit bahkan cenderung bias. Tidak ditemukan dalam nomenklatur, kurikulum maupun spektrum SMK dari mulai tahun 2006 hingga kini tentang kompetensi keahlian dermaga, teknik maupun transportasi laut dan sungai serta kompetensi khusus yang membidangi perkapalan. 
  • Spesifikasi kompetensi keahlian dari lulusan SMK juga akan mengakibatkan terbuka luasnya lapangan kerja baru yang seperti diketahui belakangan ini pengangguran masih dalam taraf yang bisa dikatakan besar. 
  • Namun demikian, dalam pembangunan SMK dengan kompetensi keahlian yang spesifik ini tentunya akan terkendala dengan berbagai hal. Beberapa kendala yang tentunya akan mengikuti adalah permasalahan infrastruktur sekolah, bengkel kerja dan juga kesiapan guru. Oleh karena itu, khusus untuk SMK pada dasarnya bisa dilakukan sinergi rumpun kompetensi keahlian di LPTK sebagai penghasil tenaga pendidik dan kependidikan, juga dapat dengan melakukan percepatan pembukaan program studi baru yang melingkupi kompetensi keahlian tersebut secara paralel. 
  • Selain itu, untuk infrastruktur sekolah dan bengkel kerja pada dasarnya dapat menggunakan sekolah yang sudah ada, tapi kompetensi keahlian yang sekarang ada sudah akan mencapai titik jenuh. Reposisi dan reorientasi SMK yang tadinya berbasis pada bisnis dan manajemen yang hari ini sudah sangat jenuh harusnya juga mulai dipikirkan dan ditinjau ulang keberadaannya serta digantikan dengan SMK yang memang sangat dibutuhkan daerah.
  • Hal tersebut di atas juga terkait erat dengan permasalahan yang muncul pada pendahuluan. Kurangnya SMK berbasis infrastruktur, ternyata berimbas pada lambannya pembangunan gedung-gedung sekolah, jalan raya bahkan dermaga-dermaga perintis. 
  • Hal ini juga bukan semata karena kurangnya jumlah dan peminatnya tapi juga terkait dengan masih belum spesifiknya kompetensi keahlian dari lulusan SMK, daya saingnya rendah dan terlalu banyaknya SMK dengan kompetensi keahlian yang jumlah lulusannya sudah jenuh. 
  • Solusi dari hal tersebut adalah mengintegrasikan antara dunia industri dan SMK dalam satu lingkup MOU atau kerja sama. Hal ini sangat relevan dengan INPRES No. 6 tahun 2016. Bisa dengan jalan membuka SMK baru yang berbasis kebutuhan di dekat Industri atau menggunakan lahan fasilitas umum atau fasilitas Sosial yang dimiliki Industri sebagai bengkel kerja untuk meningkatkan kompetensi dan juga daya saing lulusan.
  • Selain itu, harus sudah dimulai reposisi dan reorientasi arah SMK ke depan. Kompetensi keahlian yang lulusannya sudah jenuh selayaknya dikurangi jatah pembukaan kelasnya dan dialihkan kepada kompetensi keahlian yang jelas sangat dibutuhkan. Seperti DKI, Banten, Jawa Barat, dan daerah 3T yang sangat membutuhkan kompetensi keahlian bidang rekayasa infrastruktur sudah selayaknya diberikan porsi yang lebih banyak.
  • Akan sangat mengherankan ketika daerah-daerah tersebut ingin membenahi sungai, dan dermaganya tapi tidak memiliki tenaga teknis dan operator bidang tersebut. Dapat dibayangkan taman-taman kota yang dibangun dengan sangat indah tapi tidak memiliki tenaga kerja yang mumpuni dalam menatanya atau di daerah 3T yang sangat membutuhkan tenaga kerja untuk membangun jalan penghubung, tapi perusahaan terpaksa mengambil tenaga kerja teknis dan operator dari pulau Jawa.
  • Penempatan lulusan S1 Pendidikan Teknik Rekayasa Infrastruktur/ Bangunan di daerah 3T dan perkotaan seraya mendirikan SMK berbasis Infrastruktur akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan penempatan bidang lain guna mendorong pembangunan yang merata. Selain Sarjana Pendidikan lulusan dari S1 pendidikan teknik rekayasa dapat bekerja sebagai tenaga ahli dan juga memiliki kemampuan mendidik tenaga teknis. 
  • Keuntungan yang diraih negara dalam penghematan dan percepatan pembangunan tentunya akan berkali lipat dibandingkan dengan melaksanakan teknis konvensional yang selama ini dilakukan.
  • Penempatan ini akan sangat besar bagi daerah-daerah tersebut, karena putra daerahnya sendiri yang akan membangun untuk daerahnya baik dengan dana desa maupun dana dari pembangunan infrastruktur. Pembangunan SMK pun tidak perlu memikirkan detail cara membangunnya, karena semenjak masuk kelas X dapat langsung dilibatkan dalam membangun sekolahnya sendiri dengan prinsip Learn by doing. 
  • Estimasi kasarnya jika dalam 1 tahun SMK tersebut menerima 1 kelas berisi 20 orang siswa, maka pada tahun kedua sudah akan terbangun 2 lokal gedung sekolah sebagai pembelajaran dan juga hasil karya siswa dengan dibimbing ahlinya yaitu Sarjana Pendidikan pada bidang Teknik dan Rekayasa Infrastruktur. 
  • Pada tahun kedua akan terbangun 6 lokal dan tahun ketiga 12 lokal dengan kompetensi 20 orang siswa yang siap terjun membangun daerahnya sendiri dan memiliki pengalaman dalam merekayasa infrastruktur gedung sekolah. Jika penempatannya di perkotaan, sudah barang tentu akan lebih mudah lagi karena proyek infrastruktur yang ada hari ini sangat banyak dan luar biasa jika siswa dapat diikutsertakan dalam rangka Praktik Kerja Lapangan. 
  • Belum lagi jika kota tersebut memiliki taman dan juga sungai-sungai yang rawan banjir seperti Jakarta dan Jawa Barat. Belum lagi jika dikaitkan dengan daerah yang memang infrastruktur jembatannya memprihatinkan seperti Banten.

Tidak kurang dari 7 bidang dalam kompetensi keahlian yang berbasis infrastruktur yang selayaknya dipertimbangkan menjadi percepatan pembangunan di kota-kota besar, dan daerah terluar yaitu teknik sipil basah (dermaga), jalan raya, struktur baja, drainase, transportasi, kepelabuhan, dan kelautan.

Dapat dibayangkan jumlah SMK bidang infrastruktur di Kota sebesar DKI Jakarta saja hanya berjumlah 7 SMK dan itu pun kebanyakan hanya di bidang gambar bangunan (arsitektur). Bahkan SMK di bidang transportasi, kepelabuhan dan struktur baja belum dapat dilihat perkembangan secara baik.

Pada dasarnya bukan salah para calon siswa SMK yang tidak mau masuk ke dalam SMK berbasis infrastruktur tapi karena penamaan dan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa masuk ke SMK berbasis infrastruktur adalah menjadi "Tukang bangunan". 

Hal ini bukannya tanpa alasan, karena SMK berbasis infrastruktur hari ini dinamakan oleh KEMDIKBUD sebagai SMK Bangunan, bahkan program studi di LPTK nya pun bernama S1 Pendidikan Teknik Bangunan, wajar kiranya masyarakat beranggapan bahwa masuk persepsi masyarakat yang terbangun memasuki SMK berbasis Infrastruktur menjadi tukang bangunan. 

Bahkan dampak yang lebih lanjutnya adalah, jika ingin menjadi tukang bangunan mengapa harus sekolah tinggi-tinggi? Seperti demikianlah hasil penelitian pendahuluan yang didapat dari survei terhadap orang tua siswa dan siswa SMP kelas IX di beberapa kotamadya di DKI Jakarta, di sisi lain peminat untuk menjadi "pasukan oranye" dan "pasukan biru" sangat melimpah. 

Padahal seperti telah diketahui, tugas kedua "pasukan" itu adalah melakukan perbaikan drainase dan jalan raya yang jelas-jelas itu bidang pekerjaan SMK berbasis infrastruktur. Oleh sebab itu, perlu diadakan perbaikan nomenklatur penamaan SMK berbasis infrastruktur menjadi SMK Rekayasa Infrastruktur (SMK RI) begitu pun di LPTK nya sesuai dengan KKNI berubah nama menjadi S1 Pendidikan Rekayasa Infrastruktur.

Ketersediaan lahan pekerjaan untuk SMK berbasis infrastruktur dan guru yang kompeten untuk SMK berbasis infrastruktur pada dasarnya sangat berlimpah. Namun demikian, justru lulusan SMK dengan kompetensi di bidang infrastruktur yang minim. 

Tidak kurang 30 proyek besar di bidang infrastruktur hingga tahun 2019 akan berjalan, 12 LPTK yang memiliki S1 Pendidikan Rekayasa Infrastruktur/Teknik Bangunan siap memasok guru yang kompeten, tapi dari sekian banyak proyek, lulusan SMK dan guru terdapat missing link  justru di sektor SMK sebagai pemasok tenaga kerja teknis bidang infrastruktur yang hanya berjumlah 568 SMK negeri dan 311 SMK swasta di seluruh Indonesia (34 provinsi, 514 kab/kota), itupun sebagian besar SMK swasta sudah hampir tutup dan di SMK Negeri hanya membuka kompetensi keahlian gambar bangunan (arsitektur) dan perkayuan.  

Bandingkan dengan jumlah SMK bidang bisnis manajemen yang mencapai 1410 SMK Negeri dan 4361 SMK swasta di seluruh Indonesia (1:3), kesenjangan yang luar biasa belum lagi dengan jumlah SMA yang berjumlah tidak kurang dari 5.746 SMA negeri dan 4.493 SMA Swasta (1:10) . 

Fenomena ini seharusnya dapat ditanggapi dengan serius oleh pemerintah dengan pembangunan SMK-SMK berbasis Infrastruktur di wilayah kota besar seperti DKI, Medan, Surabaya dan wilayah terluar seperti Natuna, Kalimantan Utara, Maluku Utara dan Papua. Rasionalisasi jumlah SMK bidang infrastruktur dengan SMA harus segera dilaksanakan sebelum terlambat.

Jika ditinjau lebih dalam ke proses pembelajaran pada SMK, akan terlihat hal yang lebih mengkhawatirkan. Tercatat SMK-SMK yang berbasis infrastruktur yang berjumlah 7 SMK di DKI Jakarta saja sudah  tidak lagi membuka program studi atau kompetensi keahlian beton, baja maupun pemetaan. 

SMK tersebut sekarang lebih fokus ke bidang perkayuan (Furniture) dan Gambar Bangunan. Selain persepsi masyarakat yang sudah sangat sumir sehingga tidak mau memasukkan anaknya ke kompetensi keahlian beton, baja dan pemetaan, SMK tersebut juga sangat terkendala dengan bengkel kerja (Workshop) yang kurang mengikuti zamannya. 

Sehingga pengerjaan-pengerjaan di bidang beton, baja dan pemetaan sangat tidak relevan dengan industri. Di sisi lain industri sudah berkembang jauh lebih maju, bahkan kekurangan tenaga kerja bidang tersebut.

Apalagi, DKI Jakarta telah mencanangkan berbagai proyek infrastruktur yang sangat terkait erat dengan bidang tersebut, yaitu normalisasi sungai dan Transportasi masal. 

Khusus di bidang transportasi dan drainase, bahkan nomenklatur di Kemdikbud pun belum ada. Artinya, untuk memasuki tenaga kerja di bidang tersebut jangankan SMK-nya Nomenklatur pendiriannya pun belum ada. Maka, perlu adanya kreativitas dan kelonggaran untuk berinovasi serta dibukanya peluang-peluang untuk hal tersebut.

Hal tersebut di atas, belum dihadapkan bahwa kenyataannya tenaga kerja di sektor infrastruktur baik yang berasal dari SMK maupun tenaga kerja Informal masih banyak sekali yang belum tersertifikasi. Berdasarkan catatan Direktorat kursus dan pelatihan, bahwa Lembaga Sertifikasi Tukang Batu/Bangunan baru didirikan di medio 2016 ini. 

Sedangkan data Kementerian PUPR, 7,3 juta pekerja konstruksi Indonesia, diketahui hanya 10 persen pekerja yang sudah memiliki sertifikat kompetensi. Karena itu, Masrianto (2015) menyatakan targetnya hingga 2019, satu juta tenaga kerja Indonesia sudah bersertifikat dengan rincian 150 ribu tenaga ahli dan 850 ribu tenaga terampil (bidang kejuruan).

Menyikapi perkembangan yang ada, memang pada dasarnya perubahan nomenklatur, kurikulum, spektrum dan kompetensi keahlian yang lebih spesifik serta mengarah pada keterampilan teknis harus segera dilakukan oleh Kemdikbud sebelum tanggapan miring dan sumir dari masyarakat pada kelas pekerja teknis dan operator justru berbalik menghantam sektor infrastruktur dan tentunya perekonomian negara secara umum. 

Kondisi ini juga merupakan Peta jalan SMK bidang Rekayasa Infrastruktur dan pembenahan LSP dan LSK di bawah koordinasi BNSP. Selain itu, perlu dibuka akses seluas-luasnya kepada SMK berbasis infrastruktur untuk mengakses proyek-proyek infrastruktur yang ada sekarang agar pengalaman kerja siswa dapat terbina dengan baik sesuai INPRES No. 9 tahun 2016

Revitalisasi LPTK yang menghasilkan guru SMK berbasis infrastruktur harus segera dilaksanakan terutama dalam pemenuhan sarana dan prasarana workshop atau bengkel kerja yang masih sangat tertinggal dibandingkan dengan zamannya.

Revitalisasi ini juga hendaknya mencakup pada perluasan cakupan program studi yang dapat menjangkau perluasan kompetensi keahlian dari SMK berbasis infrastruktur

Percepatan pembangunan SMK berbasis Infrastruktur perlu segera dilakukan dengan berkoordinasi dengan pihak industri yang dimaksudkan agar pemenuhan workshop atau bengkel kerja, PKL dan magang dapat terlaksana secara integratif. 

Pembangunan SMK berbasis infrastruktur di daerah pedalaman atau 3T dapat dilaksanakan dengan mengirim guru berikatan dinas yang pernah mengikuti program SM3T dan sudah tersertifikasi tanpa harus menunggu infrastruktur gedung berdiri, karena hal tersebut bisa langsung dijadikan sarana praktik kerja sebagai bentuk proses learn by doing di bawah pengawasan guru yang bersangkutan. 

Adapun SMK berbasis infrastruktur yang sangat mendesak untuk dibangun seperti konstruksi sipil basah, teknik dan rekayasa transportasi, konstruksi baja, drainase, kepelabuhan, dan kelautan.

Dr. Riyan Arthur, M. Pd
Dosen Pendidikan Vokasional Konstruksi Bangunan
Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta (FT UNJ)

(tulisan ini pernah diterbitkan pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia tahun 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun