Mohon tunggu...
Riadhotul Muamalah
Riadhotul Muamalah Mohon Tunggu... Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

I studied International Relations, not to just talk about nation-states, but to talk about the people and cultures that comprise them. My focus is on the soft power: cultural exchange, humanitarian issues, global ethics, and the role of identity in international affairs. Kompasiana is my space to blend academic insight with real-world empathy. I'm here to explore the beautiful, messy complexity of being a global citizen. Every voice is policy, and every story is diplomacy.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Melacak Jejak Sriwijaya di Laut Natuna Strategi Maritim Nusantara yang Terlupa?

12 Oktober 2025   23:13 Diperbarui: 12 Oktober 2025   23:12 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Laut Natuna Utara kembali memanas. Klaim tumpang tindih, kapal patroli yang saling mengawasi, dan diplomasi yang tegang menjadi berita harian. Sebagai bangsa, kita sibuk menyusun strategi modern: peningkatan alutsista, diplomasi, dan tata kelola lintas lembaga. Namun, di tengah hiruk-pikuk respons kontemporer, ada baiknya kita menengok ke belakang, menelusuri jejak kejayaan Nusantara. Bagaimana kerajaan maritim seperti Sriwijaya dan Majapahit mengelola wilayah laut mereka yang begitu luas? Adakah nilai-nilai strategis mereka yang masih relevan untuk diterapkan di Natuna hari ini?

Sriwijaya dan Majapahit, Bukan Kekuatan Tempur, Tapi Kekuatan Tata Kelola

Berbeda dengan narasi populer yang sering menitikberatkan pada kekuatan militer, kemaharajaan maritim Nusantara justru bertumpu pada "smart power"  kombinasi antara kewibawaan (prestige), diplomasi, dan kontrol ekonomi.

Sriwijaya (abad ke-7 hingga 13) menguasai Selat Malaka dan Laut Cina Selatan termasuk kawasan di sekitar Natuna bukan dengan armada perang yang terus-menerus berpatroli. Kekuatannya terletak pada kemampuannya menciptakan tata kelola yang membuat semua pihak diuntungkan. Sriwijaya menjadi pusat perdagangan yang aman, menyediakan pelabuhan yang baik, melindungi kapal-kapal dagang dari bajak laut, dan memungut cukai yang wajar. Mereka membangun jaringan vassal dan sekutu melalui hubungan dagang dan kultural, bukan penaklukan militer semata.

Prinsip yang sama terlihat pada Majapahit (abad ke-13 hingga 16). Di bawah Patih Gajah Mada, konsep Cakrawala Mandala diterapkan. Ini bukanlah imperium dengan batas teritorial yang kaku, melainkan jaringan pengaruh yang bersifat konsentris. Pusat kekuasaan di Jawa mengikat kerajaan-kerajaan "mancanegara" dan "nusantara" melalui sumpah setia, hubungan perkawinan, dan kemitraan ekonomi. Kekuatan laut (Jaladhipa) digunakan untuk menegakkan kewibawaan pusat dan menjamin keamanan jalur pelayaran, bukan untuk okupasi militer di setiap pulau.

Dari "Jaladhipa" hingga "Blue Economy"

Lantas, apa hubungannya strategi abad pertengahan itu dengan konflik Natuna di abad ke-21? Sangat relevan, setidaknya dalam tiga hal:

Kedaulatan melalui Kesejahteraan (Sovereignty through Welfare). Baik Sriwijaya maupun Indonesia modern memahami bahwa kedaulatan tidak bisa hanya dijaga dengan meriam. Sriwijaya menjadikan kawasannya makmur sehingga semua pihak punya kepentingan untuk menjaga stabilitas. Indonesia hari ini dapat memperkuat ini dengan mempercepat pembangunan ekonomi berbasis "blue economy" di Natuna. Bukan hanya mengeksploitasi migas, tetapi membangun industri perikanan berkelanjutan, pariwisata bahari, dan pusat logistik. Ketika masyarakat Natuna sejahtera dan terintegrasi dengan ekonomi nasional, klaim kedaulatan kita menjadi lebih kuat dan nyata.


Diplomasi Jaringan (Network Diplomacy). Sriwijaya dan Majapahit adalah maestro diplomasi. Mereka membangun jaringan yang kompleks. Indonesia harus terus memperkuat pendekatan ini di forum ASEAN dan melalui kerja sama segitiga. Menjadikan Natuna bukan sebagai titik konflik, tetapi sebagai hub kerja sama maritim untuk penanggulangan IUU Fishing, pencarian dan pertolongan (SAR), dan penelitian kelautan. Ini adalah modernisasi dari konsep "Mandala".


Kewibawaan tanpa Konfrontasi (Authority without Aggression). Kekuatan militer kerajaan Nusantara digunakan untuk menegakkan wibawa, bukan untuk memicu perang. TNI AL dan Bakamla hari ini memainkan peran yang mirip: hadir, diawasi, dan profesional. Pembangunan Pangkalan Terpadu di Natuna adalah simbol komitmen dan kewibawaan Indonesia, sama seperti pusat-pusat pemerintahan kerajaan di pesisir. Elemen deterrence (penangkalan) ada, tetapi yang utama adalah penegakan kedaulatan yang konsisten dan beradab.

 Merajut Masa Depan dengan Benang Sejarah

Strategi kita di Natuna tidak boleh terpaku hanya pada peta militer dan dokumen diplomasi modern. Jejak strategis Sriwijaya dan Majapahit memberikan kita peta navigasi yang berbeda: bahwa kedaulatan sejati lahir dari kemampuan mencipta tata kelola yang inklusif, menyejahterakan, dan penuh kewibawaan.

Modernisasi alutsista dan diplomasi pertahanan tetap penting, tetapi ia harus dibingkai dalam kerangka berpikir yang lebih luas, sebagaimana leluhur kita dulu. Laut Natuna bukan sekadar garis di peta, ia adalah ruang hidup dan peradaban. Dengan menyelaraskan kekuatan modern dengan kearifan strategis Nusantara, kita bukan hanya mempertahankan kedaulatan, tetapi juga menghidupkan kembali jiwa kita sebagai bangsa maritim yang besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun