Mohon tunggu...
Rivaldi Pasya
Rivaldi Pasya Mohon Tunggu... Mahasiswa UNIKOM

Hey Kompasianer! Saya adalah mahasiswa tingkat 3,Jurusan Ilmu Komunikasi,Di Universitas Komputer Indonesia yang berlokasi di jalan.dipatiukur Kota Bandung Saya masih awal dan awam dalam bidang penulisan ini,jadi,saya sangat menerima masukan yang membangun dan kritis bilamana terdapat kekeliruan dalam tulisan-tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Book

Belajar Tenang di Tengah Kegaduhan Digital:Refleksi Stoikisme dari Buku Filosofi Teras.

5 Oktober 2025   20:07 Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:07 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital saat ini, kita hidup di tengah arus informasi yang deras, cepat, dan sering kali membingungkan. Timeline media sosial menjadi ruang di mana setiap orang bisa berbicara, berkomentar, bahkan menghakimi. Fenomena seperti cancel culture, fear of missing out (FOMO), doomscrolling, hingga kelelahan digital sudah menjadi bagian dari keseharian banyak anak muda, termasuk mahasiswa seperti saya.

Dalam situasi ini, muncul satu pertanyaan sederhana namun penting: bagaimana cara kita tetap tenang, berpikir jernih, dan tidak terbawa arus emosi di tengah kebisingan digital?

Jawabannya, bagi saya, temen-temen bisa ditemukan melalui buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring --- sebuah karya populer yang memperkenalkan kembali ajaran Stoikisme, atau dalam bahasa sederhananya: filsafat hidup tenang dan rasional.

Stoikisme: Filsafat yang Kembali Relevan

Stoikisme lahir di Yunani sekitar abad ke-3 SM dan dikembangkan oleh tokoh seperti Zeno, Seneca, dan Marcus Aurelius. Tapi menariknya, filosofi kuno ini justru sangat relevan di zaman modern --- terutama dalam menghadapi tekanan hidup, overthinking, dan kegelisahan sosial akibat teknologi.

Henry Manampiring dalam bukunya menulis:

"Stoisisme mengajarkan bahwa kita hanya perlu memusatkan perhatian pada hal-hal yang berada dalam kendali kita, dan tidak perlu cemas berlebihan terhadap hal-hal di luar kendali kita."
(Manampiring, 2018, hlm. 25)

Kalimat itu sederhana, tapi menjadi semacam wake-up call bagi saya pribadi. Karena dalam kehidupan sehari-hari, terutama di media sosial, kita justru sering memikirkan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan: komentar orang lain, jumlah likes, citra digital, atau gosip viral yang bahkan tak ada hubungannya dengan diri kita.

Fenomena "Kelelahan Digital" dan Krisis Emosi Kolektif

Fenomena yang paling terasa di kalangan mahasiswa hari ini adalah digital fatigue atau kelelahan digital. Aktivitas akademik dan sosial kini nyaris sepenuhnya bergantung pada layar --- Zoom, WhatsApp, Instagram, TikTok, hingga forum kampus daring.

Kita berpindah dari satu tab ke tab lain tanpa sadar bahwa otak sedang bekerja keras untuk menanggapi begitu banyak stimulus sekaligus. Akibatnya, emosi cepat naik, konsentrasi menurun, dan rasa cemas meningkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun