Belum habis ingatan kita soal bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya, kini kita kembali 'bertemu'dengan ledakan bom bunuh yang terjadi di Medan yang membuat kita kaget. Bom bunuh diri ini dilakukan oleh seorang pemuda seorang diri di kantor polisi Medan (Polresta) yang saat itu sibuk.
Pelaku adalah seorang mahasiswa yang masih belia dan menyebabkan sekitar enam orang terluka karena ledakan itu. Satu masyarakat sipil dan lima polisi.
Pelaku melakukan ini karena polisi merupakan reprensentasi dari pemerintah dan pemerintah ini dianggap thaghut oleh mereka. Â Thoghut atau thaghut adalah istilah dalam agama Islam yang merujuk kepada setiap yang disembah selain Allah yang rela dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan ketaatan orang yang menaatinya dalam melawan perintah Allah. Menurut mereka thaghut jauh dari ketentuan dari agama dan akan masuk neraka bersama setan. Karena itu mereka menyerang polisi.
Perbuatan yang kita katagorikan sebagai terorisme ini seringkali berawal dari pandangan-pandangan radikal pelaku bom. Pandangan radikal biasanya berawal dari pandangan intoleran terhadap sesuatu. Â Mereka memiliki pandangan yang tak biasa sebagai sebagai penganut agama tertentu. Hal ini biasanya terjadi jika penafsiran mereka terhadap apa yang tertera pada agama berbeda dengan penafsiran pada umumnya. Penafsiran itu biasanya berlebihan, semisal melihat atau memandang kaum yang berbeda keyakinan sebagai seorang kafir. Kafir dalam konsep mereka juga jauh dari ketentuan mereka, sehingga seringkali kafir dalam konsep mereka adalah pihak yang harus dimusnahkan. Ini adalah padnangan yang radikal dan intoleran.
Ini dengan jelas terlihat saat bom Surabaya yang menyerang tempat ibadah umat lain karena pandangan mereka yang keliru terhadap kaum berbeda itu. Sama halnya dengan pemerintah yang dikatagorikan pelaku sebagai thaghut tadi.
Perilaku radikal termasuk juga intoleransi sudah saatnya tidak lagi dipakai di negara yang penuh warna ini. Tak mungkin di negara yang penuh dengan keberagaman ini harus memaksakan diri punya pandangan seragam terhadap sesuatu. Tak mungkin semua harus punya warna yang sama, hijau dan semua harus hijau. Ketika satu berpandangan biru semua harus juga pandangan biru. Hal ini tak akan mungkin terjadi di negara kita.
Karena konsep intoleransi dan radikalisme harus dimusnahkan di negara kita ini. Kita tak bisa mentolerir egoism satu kelompok dengan meniadakan kelompok lain. Karena semua pihak di Indonesia ini dijamin keyakinannya oleh Undang-undang.
Berdasar hal itu mungkin kita harus jeli lagi memilah orang yang memang punya tafsir salah terhadap agama. Pemuka agama harus proaktif terhadap itu. Kita tak perlu memberi toleransi kepada kaum radikal dan intoleran.