Mohon tunggu...
Rita Audriyanti
Rita Audriyanti Mohon Tunggu... Penulis - Ibu rumah tangga

Semoga tidak ada kata terlambat untuk menulis karena dengan menulis meninggalkan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peran Keluarga Menyambut AFTA 2015

10 Maret 2014   13:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah sebuah kawasan perdagangan bebas tingkat regional ASEAN. AFTA akan dimulai pada tahun 2015. Sepuluh negara yang tergabung dalam blok ASEAN yaitu  Indonesia, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Laos, Kamboja, Brunei Darussalam, dan Myanmar otomatis menjadi pelaku AFTA. Di kawasan tersebut terdapat sekitar 500 juta orang dimana 40% diantaranya adalah penduduk Indonesia. Dari sekian pelaku, pentingkah peran keluarga dalam menyongsong era keterbukaan pasar bebas ASEAN ini?

Ada Apa dengan AFTA 2015

AFTA merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta  serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya (dikutip dari http://www.tarif.depkeu.go.id/Others/?hi=AFTA)

Dengan kesepakatan tersebut, tentu masing-masing pihak sedang berupaya keras mempersiapkan diri agar mampu menjadi pelaku dengan memiliki andil besar. Maksudnya setiap negara tidak ingin menjadi objek atau penonton. Setiap negara sedang bersiap menjadi pelaku paling unggul di kelasnya.

Isu Besar AFTA 2015

Sebagai wujud komitmen bersama dalam bidang lalu lintas perdagangan, banyak aspek yang perlu dipikirkan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Isu besar AFTA adalah menyangkut masalah kemakmuran bersama, menjadikan ASEAN menjadi salah satu pusat perdagangan dunia dan yang tidak boleh diabaikan pula adalah bahwa dengan AFTA lalu lalang manusia di kawasan ini akan semakin bebas keluar masuk.

Dari ketiga hal pokok di atas saja, akan timbul pertanyaan, siapkah kita dengan kejadian perubahan yang besar itu? Siap dalam hal regulasi mungkin sudah. Berbagai perangkat peraturan lebih mudah menyiapkannya. Namun, bagaimana dengan kesiapan orangnya, SDMnya, sikap mentalnya?

Peran Keluarga Menyambut AFTA

Setiap perubahan yang terjadi di dalam negeri, bukan saja akan mempengaruhi pemerintahan dan bangsa secara makro, tetapi juga berpengaruh sampai ke sendi terkecil dalam kehidupan berbangsa yaitu individu dan keluarga. AFTA 2015 tidak bisa hanya dipandang sebagai urusan besar, urusan negara. Ada masyarakat, keluarga dan individu di dalamnya. Mereka juga  terlibat baik secara sadar maupun tidak dengan kondisi ini. Sayangnya, informasi dan penyuluhan mengenai AFTA ini-menurut saya- masih sangat kurang. Gaungnya masih di atas sana, belum terasa sampai ke bawah.

Bayangkan nanti seandainya tiba-tiba masuk produk dari Vietnam secara besar-besaran membanjiri pasar-pasar lokal tanah air. Apa lagi dengan harga murah, akibatnya produk lokal mati perlahan-lahan karena tidak mampu bersaing harga. Dan ini sudah terjadi sekarang dimana produk-produk Cina sudah 'diterima' sebagai hal biasa oleh masyarakat. Hanya terjadi keterkejutan sejenak setelah itu padam. Sementara para produsen lokal menjerit mendapat pesaing tanpa kompromi.

Atau nanti, semua tenaga sekuriti perkantoran di Jakarta diisi oleh orang-orang dari Myanmar, atau buruh pabrik diimpor dari Laos karena bisa dibayar lebih murah dengan sedikit tuntutan, dan begitu juga sebaliknya, TKI Indonesia semakin meluber ke negara-negara ASEAN. ASEAN menjadi kampung besar dari pergerakan keluar masuk antar bangsa di kawasan sepuluh negara ini.

Menarik lebih spesifik ke dalam keluarga, mumpung masih ada waktu, mari kita mulai mengadakan pembicaraan serius ke dalam rumah tangga masing-masing. Orangtua mulai memperkenalkan kepada anggota keluarganya apa itu AFTA, negara-negara mana saja yang menjadi anggotanya lengkap dengan gambaran umum tentang negara tersebut, apa peran AFTA, situasai apa yang akan terjadi nanti, bagaimana memahami keberadaan orang asing, bagaimana mensikapi banjir produk luar, bagaimana meningkatkan produk lokal sekaligus mencintainya, sikap apa yang harus dipertahankan sebagai wujud rasa nasionalisme, dan sebagainya.

Sebagai contoh, dengan semakin ramainya orang Indonesia mengadakan perjalanan wisata di sekitar kawasan ASEAN, katakanlah misalnya terbang ke Kuala Lumpur, Bangkok, Singapura, telah memberi suatu wawasan mengenai keberadaan negeri dan kultur masayarakat negeri yang dikunjunginya. Setidaknya membuka mata para turis ini bahwa sambil jalan-jalan mereka sudah bisa mengadakan studi banding tentang negerinya dan negeri tetangga. Tetapi kesempatan ini baru dinikmati oleh sebagian kecil saja orang Indonesia.

Anak-anak muda sekarang yang sangat rentan dan mudah terpengaruh oleh berbagai produk dan jasa dari luar negeri, harus mendapat pendidikan yang menyadarkan mereka bahwa pikiran atau mindset seperti itu tidak menguntungkan Indonesia di era pasar bebas AFTA 2015 nanti. Mereka harus yakin dan percaya diri bahwa dengan mencintai produk dalam negeri, meningkatkan kreatifitas agar produk lokal bertaraf internasional, secara aktif turut memperjuangkan jenama (merek) lokal menjadi icon yang mampu menembus pasar internasional, setidaknya di kawasan regional. Untuk itu mereka perlu mengenali siapa saja sesungguhnya produsen lokal yang sedang berjuang.

Selain itu, melalui berbagai komunitas keluarga yang ada, bisa juga berperan dengan  memberikan kontribusinya berupa pemberian informasi dan edukasi bagi anak2 dan remaja. Doktrin bahwa Indonesia juga bisa dan unggul di kawasannya harus ditanamkan dalam benak generasi muda. Mereka harus memiliki kebanggaan, kepedulian dan kecintaan terhadap bangsanya melebihi kepada bangsa lain.

Oleh karena itu, meskipun alur perdagangan bebas bakal menembus garis batas geografis, identitas sebagai bangsa harus tetap terjaga. Upaya masing-masing keluarga berperan positif melalui pendidikan dalam keluarga dengan membina mentalitas anggota keluarganya merupakan wujud upaya preventif dan konstruktif dalam menghadapi 'regionalisasi' nilai-nilai budaya dalam konteks kerjasama regional tanpa kehilangan identitas khas keIndonesiaan.

Saatnya keluarga Indonesia memilih dalam menghadapi AFTA 2015: Menjadi pelaku atau penonton.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun