Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Give Me a Break!"

11 Mei 2018   10:48 Diperbarui: 11 Mei 2018   11:04 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Panas hari itu betul-betul menyengat, alat pendingin dalam mobil tua yang kupakai tidak lagi mampu meredam panas dari luar. Ditambah lagi dengan macetnya jalanan. Jalan Sisingamangaraja yang biasanya cukup lebar dan lapang, siang itu menyempit menjadi satu jalur saja. Pantas saja kemacetan mengular sampai jauh. Rupanya di ruas jalan yang padat itu paling tidak ada tiga proyek yang berjalan bersamaan. 

Pertama, jalur layang MRT yang menurun dan menembus tanah di bawah Patung Pemuda di simpang Kebayoran (orang sering menyebutnya patung 'pizza man', mungkin karena seperti orang yang sedang mengusung piring berisi pizza yang masih mengepul!). 

Selain itu, ada perbaikan gorong-gorong untuk saluran air hujan, dan pelebaran trotoir. Kenapa ketiga proyek itu harus dilaksanakan bersamaan, dan menimbulkan kemacetan yang tidak perlu? Kalau proyek MRT, kita sudah faham, 'kan maksudnya untuk menggiring orang untuk tidak menggunakan mobil pribadi dan menggunakan sarana transportasi umum, dan MRT 'kan proyek strategis nasional. Nah, kalau gorong-gorong dan trotoir itu, apa bisa dilaksanakan belakangan?  

Kemacetan di Jakarta memang tambah parah akhir-akhir ini, Jelas-jelas proyek MRT sedang berlangsung di Jalan protokol sepanjang Jenderal Sudirman, sekarang dilakukan pula pembuatan jalur trotoir dengan mengorbankan pohon-pohon peneduh di sepanjang jalan tersebut. Mungkin maksudnya agar orang Jakarta nantinya disuruh jalan kaki saja, tidak usah pakai mobil, toh sudah disediakan jalur pejalan kaki yang lebar. Soal kepanasan karena tidak ada pohon, ya salahnya sendiri, kenapa tidak bawa payung.

Memperhatikan kondisi Jakarta sekarang ini, aku jadi sedih dan prihatin. Kota yang tadinya mulai bersih dan tertata rapih, sekarang menjadi berantakan tidak karuan. PKL yang tadinya tidak boleh berjualan di jalan-jalan protokol sekarang bebas berjualan sehingga menimbulkan kekumuhan baru. 

Jalan Jatibaru di Tanah Abang tiba-tiba dipenuhi pedagang kali lima, sehingga kendaraan pribadi dan umum harus memutar jauh. Motor sekarang bisa melenggang di Jalan Thamrin, becak juga diundang lagi masuk Jakarta, padahal becak sudah dilarang sejak tahun 70-an, saat Ali Sadikin menjadi gubernur Jakarta.  Katanya atas nama keadilan! Kalau begitu, motorpun boleh masuk jalan tol dong, kan supaya adil, sekalian gerobak dorong dan pedati juga. Ini mungkin karena yang kuasa punya mau, sehingga melupakan rasa malu, karena tidak bisa menandingi masa lalu.

Kalau suasana jalan di Jakarta semakin panas, ruwet dan mudah memancing emosi, suasana politik juga ikut memanas menjelang pemilihan presiden tahun 2019. Masih tahun depan memang, tapi gerahnya sudah mulai terasa dan menonton berita di televisi seperti menonton acara dagelan yang tidak lucu, dan terkadang menguras energi pula yang tidak perlu. Akhirnya kuputuskan untuk puasa tidak menonton berita di tivi, paling tidak sampai pemilihan presiden selesai. Dan ternyata menonton Sule dan Andre jauh lebih asyik.

Give me a break, man!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun