Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suka Duka Jadi PNS

28 Desember 2009   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:44 3351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_44491" align="alignleft" width="300" caption="gusfudz.wordpress.com"][/caption]

Sembilan belas tahun menjadi pegawai negeri sipil (PNS) bukanlah waktu yang sebentar, tentu suka duka menjadi PNS selama itu tidak cukup untuk dituangkan dalam artikel yang singkat ini. Tapi ini sebagai ilustrasi saja, dan saya hanya akan menulis bagian yang suka-sukanya saja, karena dukanya saya kira semua sudah tahu, bagaimana dengan gaji pas-pasan seorang PNS harus “berakrobat” agar “dapur tetap ngebul”.Sebenarnya tidak ada cita-cita saya untuk menjadi PNS, tapi mungkin sudah dari “sono”-nya, kebetulan ayah juga seorang PNS di kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat. Ayah selalu memberikan pesan yang sederhana, jalani saja hidup ini dengan lurus, nanti akan mengalir dengan sendirinya.

Sebelum masuk PNS saya pernah bekerja sebagai konsultan perencana dari suatu perusahaan swasta, tapi tidak bisa bertahan lebih dari tiga tahun. Ada saja hal-hal yang rasanya bertentangan dengan prinsip saya, misalnya suatu proyek yang nyata-nyata tidak layak, tapi bagaimana supaya hasil studinya dibuat menjadi layak. Saya kemudian melamar jadi PNS tanpa banyak kesulitan, waktu itu semuanya masih serba mudah. Selang dua tahun bekerja, saya mendapatkan tugas belajar untuk melanjutkan kuliah ke Negeri Belanda selama satu tahun. Ini adalah “suka” yang pertama. Sepulangnya dari Belanda, belum dua tahun bekerja, saya diperbantukan pada WHO-UNDP, dua lembaga internasional dibawah naungan PBB, sebagai National Project Coordinator untuk proyek air minum perdesaan di Sulawesi Selatan selama dua tahun. Ini “suka” yang kedua, karena disamping tetap mendapat gaji pokok saya juga mendapatkan fee dari WHO, yang dibayar dengan dolar. Betapa senangnya saya waktu itu mendapat uang dolar, waktu itu kursnya masih dibawah seribu rupiah seingat saya, tapi lumayan besar. Jangan dikata “duka”nya bekerja dengan staf internasional yang serba disiplin dan tidak ada kata toleransi dalam menjaga kualitas pekerjaan, belum soal komunikasi dalam bahasa Inggeris, mata pelajaran yang paling saya benci sewaktu di SMA dulu. Pokoknya “blood, sweat and tears” mewarnai pekerjaan saya sehari-hari waktu itu, tapi saya ‘kan tidak akan cerita “duka”-nya. Yang jelas saya mendapat banyak teman, terutama teman-teman orang Bugis dan Makassar yang ternyata sangat friendly dan terbuka apa adanya. Yang lebih penting lagi, saya banyak mendapat pengalaman dari pergaulan saya dengan kolega-kolega dari berbagai bangsa dan negara.

Sebagai PNS saya sudah mengunjungi semua ibukota provinsi, termasuk Dili di Timor Timur sewaktu belum lepas dari NKRI, bahkan saya mengunjungi Timtim sampai empat kali. Sewaktu masih menjadi PNS pula saya lebih sering pergi keluar negeri. Tentu semua itu patut saya syukuri, karena kalau bukan karena tugas, mana mungkin saya bisa keliling nusantara, bahkan keliling dunia. Naik jabatan juga merupakan hal yang membanggakan,tapi kebanggaan tersebut hanya terasa pada saat pelantikan, karena besok harinya adalah kerja keras dan kerja keras. Hal yang paling saya sukai sewaktu menjadi PNS adalah apabila pekerjaan kita akhirnya memberi manfaat bagi orang banyak. Ini saya rasakan sewaktu melaksanakan program pemerataan untuk air minum di seluruh pelosok tanah air. Apalagi sewaktu menyaksikan bagaimana masyarakat begitu bergairah mendapatkan aliran air yang sudah lama mereka tunggu-tunggu.

Menjadi PNS itu ibarat meniti tali diantara tebing dengan jurang yang dalam di bawahnya. Salah-salah meniti, bisa-bisa kita terjun bebas ke dalam jurang. Dan ini banyak dialami teman-teman yang saya kenal baik, yang masuk “hotel prodeo” karena kekhilfan dan kecerobohannya, atau karena terjebak dalam sistem yang koruptif. Lalu bagaimana “menyiasati” hidup sebagai PNS? Bekas direktur saya dulu yang terkenal “lurus” pernah mengatakan bahwa sebagai PNS, kalau hidupnya sederhana dan tidak “neko-neko”, pendapatannya bisa mencukupi, karena selain gaji pokok, seorang pejabat eselon dua biasanya mendapatkan berbagai tunjangan resmi yang banyak membantu meringankan beban hidup. Sebagai PNS, mengajar pada waktu-waktu diluar jam kerja merupakan tambahan yang “halalan toyiban”. Disamping itu, sebagai praktisi kita bisa memberikan contoh nyata dari lapangan, dan tidak sekedar mengacu pada text book saja. Selama di Makassar saya sempat mengajar di Universitas Hasanuddin sore hari setelah jam kantor. Demikian pula sewaktu kembali ke Jakarta, saya sempat mengajar di Universitas Sahid dan Sapta Taruna. Saya sangat menyukai pekerjaan mengajar ini, meskipun ini saya lakukan sebagai sambilan pada waktu senggang. Sewaktu jabatan saya naik, saya harus tinggalkan kegiatan mengajar ini karena kesibukan yang menyita banyak waktu.

Saya tidak sempat mengalami jabatan eselon dua, meskipun sudah melalui pendidikan berjenjang yang merupakan prasyarat untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi. Banyak hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan hati kecil dan prinsip hidup saya. Mungkin saya terlalu idealis. Untuk itulah saya memutuskan mengambil pensiun dini sebelum waktunya. Saya akui dan saya sadari sepenuhnya bahwa menjadi PNS adalah tugas yang teramat berat tetapi mulia. Slogan “Abdi Negara” demikian luhur dan dalam maknanya. Menjadi birokrat adalah suatu pilihan hidup, dan sekali kita masuk di dalamnya, kita harus berniat untuk bekerja sesuai dengan slogan tersebut. Setelah sekian lama bekerja sebagai PNS, saya merasakan betapa seorang PNS memiliki arti yang sangat strategis dalam menjalankan roda pemerintahan pada tataran operasional, yang tidak banyak diketahui banyak orang. Banyak diantara mereka yang sangat profesional dalam bidangnya, berdedikasi tinggi, bekerja diam-diam dan beprestasi tanpa pretensi. Wajar apabila kepada mereka yang yang sudah bekerja lurus, jujur dan tanpa pamrih diberikan imbalan yang mencukupi, paling tidak untuk bisa hidup tenang tanpa harus jungkir balik menambah penghasilan.

Tapi ada satu hal yang teramat penting untuk diingat, yaitu bahwa prinsip-prinsip hidup lurus harus kita pegang secara teguh. Prinsip-prinsip yang tidak berlandaskan kepada loyalitas sempit kepada pimpinan, atau kepada kelompok dan golongan. Tidak memanfaatkan jabatan yang bisa memperkaya diri sendiri, meskipun peluang tersebut amat banyak dan sangat menggoda. Jabatan adalah amanah, karena itu gunakanlah sesuai dengan amanah yang diberikan Yang Maha Kuasa kepada kita. Pesan ayah selalu saya pegang, hiduplah lurus dan kamu akan menemukan jalanmu.

Setelah pensiun saya merasa lebih enteng, rasanya lepas dari pikiran-pikiran yang membebani. Dan yang lebih penting, saya memiliki lebih banyak waktu untuk menulis, seperti menulis artikel yang sedang anda baca ini.

Salam persaudaraan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun