Mohon tunggu...
Risman Muhammad
Risman Muhammad Mohon Tunggu... Orang Kampung

Hanya Orang Biasa, bukan orang hebat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Membaca Diskresi Bupati Halsel: Pelanggaran Hukum atau Kewajiban Konstitusional?

24 September 2025   17:18 Diperbarui: 24 September 2025   17:59 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis: Risman Muhammad Mahasiswa Pascasarjana UNAS JAKARTA Direktur: PT. Orang Hukum Indonesia

Kontroversi pelantikan empat kepala desa di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Maluku Utara, kembali mencuat ke ruang publik. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon sebelumnya telah membatalkan hasil pemilihan kepala desa. Namun, Bupati Halmahera Selatan tetap melantik keempatnya dengan alasan penggunaan diskresi. Tindakan ini memicu polemik berkepanjangan apakah Bupati Halsel telah melakukan pelanggaran hukum, atau justru sedang menjalankan kewajiban konstitusionalnya?

Putusan PTUN dan Ruang Interpretasi

Pertama, penting dipahami bahwa putusan PTUN memang bersifat final dan mengikat tidak bisa tidak. Sebagaimana diatur Pasal 115 UU PTUN. Namun, sebagaimana ditegaskan Prof. Philipus M. Hadjon, sifat mengikat putusan PTUN hanya berlaku pada objek sengketa konkret res judicata, bukan bersifat umum. Dengan demikian, putusan tersebut tidak otomatis menghalangi pejabat menerbitkan keputusan baru, sepanjang terdapat dasar hukum dan fakta berbeda. Hal ini berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat erga omnes, mengikat semua orang dan berlaku secara normatif. Perbedaan sifat ini menunjukkan adanya ruang interpretasi dalam menilai tindakan Bupati Halsel.

Kewenangan Atribusi dan Diskresi

Kedua, Bupati memiliki kewenangan atribusi dalam pengangkatan kepala desa. Lihat Pasal 26 dan Pasal 34 UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa pengangkatan kepala desa merupakan kewenangan melekat pada jabatan kepala daerah. Indroharto mendefinisikan atribusi sebagai pemberian kewenangan asli yang bersumber langsung dari peraturan perundang-undangan, baik yang dibuat oleh original legislator maupun delegated legislator.

Ketiga, penggunaan diskresi menjadi isu utama. Lihat Pasal 22 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014 menegaskan bahwa diskresi adalah instrumen sah dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mengatasi kebuntuan, memberikan kepastian hukum, serta melindungi kepentingan umum. Prof. Maria Farida Indrati menambahkan, diskresi bukan pelanggaran, melainkan instrumen hukum yang sah bagi pejabat publik, selama digunakan dengan itikad baik dan sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Dalam perspektif Internasioanl, Kenneth Culp Davis, menyebut bahwa diskresi adalah "alat vital" bagi pemerintahan modern untuk mengindividualisasi keadilan. Tidak ada masyarakat yang benar-benar bisa berjalan tanpa adanya diskresi, sebab hukum tidak mampu mengatur semua situasi yang terjadi di lapangan. Sejalan dengan itu pula, A.W. Bradley dan K.D. Ewing menegaskan bahwa kebutuhan pemerintah untuk menjamin kelangsungan layanan publik menjadikan diskresi bukan sekadar hak, tetapi kewajiban.

Namun, perlu dibedakan secara tegas, bahwa atribusi adalah kewenangan asli yang diberikan undang-undang, sedangkan diskresi adalah cara pejabat menggunakan kewenangan tersebut dalam kondisi luar biasa atau ketika norma tidak mengatur secara jelas. Dalam kasus Halsel, pelantikan kepala desa bisa dipandang sebagai bentuk atribusi, tetapi penggunaan alasan "diskresi" oleh Bupati menunjukkan adanya kebuntuan akibat putusan PTUN.

Supremasi Hukum dan Upaya Hukum Lanjutan

Menghormati putusan pengadilan tetap merupakan prinsip fundamental Negara hukum. Indroharto menegaskan bahwa asas kepastian hukum mewajibkan para pejabat patuh pada putusan pengadilan, meskipun kewenangan atribusi tetap melekat. Oleh karena itu, jika masyarakat menilai keputusan pelantikan bertentangan dengan hukum, ada jalur dan pintu PTUN Ambon tetap terbuka untuk menguji kembali legalitasnya. Mekanisme ini justru memperlihatkan adanya check and balance dalam penggunaan diskresi, sehingga tidak berubah menjadi kesewenang-wenangan.

Polemik ini sebaiknya tidak dipandang sekadar sebagai konflik personal atau politik, melainkan sebagai uji konsistensi antara kepastian hukum, kewenangan pejabat publik, dan perlindungan kepentingan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun