Mohon tunggu...
Risman Aceh
Risman Aceh Mohon Tunggu... profesional -

Anak Pantai Barat Selatan Aceh. @atjeh01

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dongeng: "Pedang Raja Bersuara"

18 Juni 2010   15:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:27 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_170745" align="alignleft" width="132" caption="Sumber foto : i438.photobucket.com"][/caption] Dongeng Pengantar Tidur Suatu hari. Suatu ketika. Di suatu bagian di bumi. Di Kerajaan Burung. Sebuah musyawarah, dilangsungkan. Dan, lomba di gelar. Lomba Pedang Raja Bersuara. Seminggu sebelumnya. Para pendekar dari tujuh penjuru mata angin, berdatangan. Lomba Pedang Raja Bersuara menarik minat. Termasuk juga pendekar dari daratan barat kerajaan. Barangsiapa yang bisa membuat Pedang Raja Bersuara maka Putri Raja dari Kerajaan Burung jadi hadiahnya. Dikawinkan, dan sekaligus dinobatkan jadi pengganti raja. Gong sudah dibunyikan. Lomba pun dimulai. Sang Putri tampak amat gelisah. Ia tidak suka dengan aturan kerajaan. Dia tidak percaya pada ritual yang ada. Sang Putri ingin membuat takdirnya sendiri. Dia percaya kebebasanlah kebahagian. Itulah jalan takdirnya. "Aku harus pergi." "Ya, aku harus pergi," bisik hatinya sambil mencari jalan keluar dari kamarnya. Tidak ada. Di luar, diarena lomba satu persatu kesatria gugur. Pedang Raja tidak juga mengeluarkan suaranya. Tetap tertancap, tegas, mengkilat dan menjulang ke udara. Hanya ada satu peserta tersisa. Kesatria dari ujung barat. Di kamar suasana batin makin memanas. Udara dingin tak mampu menutupi hati yang gerah oleh gelisah. Sangat kuatir dengan sosok kesatria terakhir. Tatap matanya. Kecuekannya. Diamnya. Gerak langkahnya yang sunyi tapi pasti semakin membuat Sang Putri berpacu dengan kekuatiran. "Jangan-jangan pedang akan bersuara," bisik hatinya. Hanya dalam jarak satu sentuhan tangan sang kesatria berdiri tepat dihadapan pedang. Tidak ada gerak, tidak ada mantra, dan tidak ada pengerahan tenaga dalam apalagi jurus-jurus penakluk pedang. Diam dan hanya menatap. Di kamar, gelisah semakin menyergap jiwa. Persis ketika hayunan Gong Penanda usai waktu hendak dibunyikan sebuah suara keluar dari mulut kesatria. "Sungguh aku tidak berminat membuatmu bersuara. Apalagi sampai membuatmu bersuara karena takluk padaku. Tidak." Sang Raja, hadiran dan juga putri terkesiap dan secara serentak berdiri lalu melihat ke arah sang kesatria. Perasaan aneh menyelinap disetiap ruang hati mereka. Tidak terkecuali Sang Putri. Namun, rasa kuatir pelan-pelan lenyap. Dia merasa lomba pedang sudah usai. "Duhai Pedang Raja. Aku kesini sungguh bukan untuk menaklukkanmu. Aku kesini karena memang aku mencintai Sang Putri. Sudah tiga purnama aku merinduinya. Dan kini rindu ini berada dipuncak ubun-ubun pikiran dan hatiku. Aku kesini sepenuh hati datang untuk melamarnya tanpa syarat karena aku mencintainya juga tanpa syarat. Sama sekali tidak ada transaksi dalam cinta kasihku padanya. Menjadi raja bukan tujuanku. Tapi menjadi kekasih sepanjang hanyat itulah pintaku." Sang Putri yang tadinya sudah mulai tenang, kini justru kembali terkesiap. Bukan oleh rasa cemas karena tidak bisa melarikan diri dari kamar. Sang Putri cemas karena susunan kalimat terakhir kesatria sepenuhnya sudah beberapa kali di dengarnya di alam mimpi. Foto 1 : kesatria dari daratan barat Foto 2 : para kesatria dari tujuh penjuru mata angin Foto 3 : Sang Putri Kerajaan Burung Keterangan tentang foto hanya fiktif belaka. Foto 1 diunduh di sini. Foto 2 diunduh di sini Foto 3 diunduh di sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun