Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mikir, Mikir, Mikir Vs Kerja, Kerja, Kerja?

19 Januari 2020   19:56 Diperbarui: 20 Januari 2020   11:28 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
publicdomainvectors.org

Tulisan ini terinspirasi dari tulisan seorang kompasioner Prof. Dr. Apollo (Daito) yang berjudul Re-interpretasi Makna Patung "The Thinker" karya Auguste Rodin yang menjadi Artikel Utama di Kompasiana beberapa waktu lalu. Silakan klik linknya pada judul tulisan bersangkutan. 

Beliau Prof. Dr. Apollo, memberikan ilustrasi berupa foto replika patung "The Thinker" yang  dipajang di Kolese SMU Kanisius Jakarta. Menarik bahwa gambar ini dikomentari (dalam kolom komentar) oleh seorang kompasioner yakni Mbah Ukik dengan kalimat , "Andai anak Kanisius membuat The Worker, Mungkin bisa menyaingi Auguste Rodin."

Membaca artikel ini berikut komentarnya, tetiba membuat saya berpikir bahwa sepertinya, dan apakah benar ada persaingan antara si pemikir dan si pekerja?

Kata-kata "Kerja. kerja, kerja" tentunya tak asing di telinga kita kan? Anda pasti tahu siapa tokoh  yang mempopulerkan slogan itu. 

Sedangkan kalau mendengar kata "Mikir, mikir, mikir", semoga anda juga teringat siapa tokoh-tokoh yang sering mengatakan hal itu. 

Tidaklah penting membahas siapa tokoh-tokoh itu, melainkan bahasan mengenai berpikir dan bekerja.  

Kembali kepada persaingan antara  pemikir dan pekerja. Apa benar keduanya ini saling beroperasi sendiri-sendiri dan  memang ada persaingan antara keduanya atau apakah keduanya sebenarnya saling melengkapi?

Saya mencoba membuat pertanyaan sederhana. "Mana ada sih, kerja yang nggak pake mikir?" lanjut, "Emangnya kalau mikir terus, nggak kerja. Apa bisa makan?"

Jawaban pertanyaan itu boleh  dibuat kesimpulan bahwa antara berpikir dan bekerja memang adanya saling melengkapi. Cukup? Tunggu dulu analisanya belum selesai.

Kesimpulan itu belum cukup memuaskan. Kalau melihat realita, setiap aktivitas memang menggunakan kedua duanya tetapi bisa jadi berbeda dalam besaran porsinya masing-masing. 

Artinya ada aktivitas yang lebih banyak membutuhkan kemampuan berpikir dan ada aktvitas yang memang membutuhkan lebih banyak kerja dalam pengertian gerakan motorik atau aksi nyata. 

Saya sering mengamati ada orang-orang yang merasa tidak senang ketika mendengar sebuah pendapat, analisa , atau pemikiran, kemudian membantahnya dengan kata-kata. "Memangnya apa yang sudah kamu kerjakan? " atau "Kerja nyata apa yang sudah kamu lakukan" . Seolah ketika orang lain mengemukakan pendapat, kritik  atau masukan, baru dinilai berharga jika orang tersebut dianggap pernah melakukan sesuatu atau berkontribusi terkait hal yang dibahas.

Padahal menurut saya, ide saya yakni berupa masukan atau kritik boleh boleh saja belum berwujud dalam suatu aksi nyata. Namanya saja ide. 

Contoh sederhana. Saya boleh dong mengkrtik banjir di Jakarta? Tetapi saya memang hampir tidak pernah memberi kontribusi berkaitan hal itu sebagai warga Jakarta. Bagaimana mungkin? Wong selama 22 tahun saya lebih banyak tinggal di Yogya dan kurang lebih 15 tahun telah ber KTP dan menjadi warga Yogya. 

Kenyataannya situasi apapun di dunia ini boleh mengundang opini siapapun. Soal  Presiden Trump di Amerika sana, boleh mengundang opini warga Indonesia dari Sumatera, Jawa, sampai NTT. Tidak percaya ? Silakan baca artikel-artikel di Kompasiana.

Singkat kata saya ingin mengatakan. Berpikir dan terus berpikir itu boleh-boleh saja. Memberi pemikiran dan ide-ide itu baik adanya. Memang benar bahwa ide-ide itu harus dilanjutkan dengan aksi nyata sehingga terwujud. Tetapi menyumbangkan ide itu tidak salah. 

Banyak profesi dengan aktivitas yang dominan dilakukan dengan berpikir. Contoh saja perancang busana, peneliti, penulis, atau paling asyik kita bicara soal pengamat sepakbola. Dia nggak main bola kan? Dia cukup mengamati saja kemudian memberi ide-ide. Hadirnya pengamat sepakbola membuat perandingan yang kita tonton jadi "berwarna" Masukan mereka memberi keasyikan tersendiri, sembari kita yang awam juga belajar strategi dalam sepakbola.

Berpikir adalah aktivitas manusia yang telah berlangsung lama tentunya. Perlu diingat bahwa kemampuan berpikir itulah yang membedakan kita dengan makhluk ciptaan lain. Berpikir juga menjadikan manusia sungguh-sungguh manusia yakni karena berakal dan tentunya berbudi. 

Menarik untuk ditelaah bahwa otak sebagai alat dan sumber pemikiran manusia berkembang dari zaman purba sampai saat ini. Meski penelitian yang pernah dilakukan  oleh Universitas Cambridge menemukan bahwa otak manusia purba berukuran sedikit lebih besar dari otak manusia moderen, tetapi disimpulkan bahwa penggunaannya dalam berpikir pada manusia moderen jauh lebih kompleks. 

Manusia mengalami perkembangan dari kehidupan nomaden yang sekedar bertahan hidup, beserta budaya dengan peralatannya yang kasar menjadi manusia yang mampu mengembangkan kreativitas, dan budaya yang lebih beragam serta hubungan antar manusia yang lebih harmonis beserta  peralatannya  yang semakin halus dan moderen. 

Hal itu dapat terjadi karena manusia mengembangkan dan menggunakan kemampuan berpikirnya. 

Mengutip  tulisan Prof. Dr. Apollo yakni,"Patung 'The Thinker' adalah simbol individu yang peduli akan kebenaran dan berusaha menemukannya dengan menggunakan pemikiran kritis". Itulah salah satu makna keberadaan manusia yakni menemukan kebenaran dengan berpikir. 

Kerja dengan aksi nyata tentu sama pentingnya. Merancang bangunan sebuah rumah tentu akan diwujudkan dalam aksi membangun rumah tersebut. Memberi masukan dalam penanganan korban banjir tentu berwujud aksi nyata dengan membantu dan hadir di tengah para korban. Memberi arahan dan nasehat kepada siswa tentang disiplin tentu berwujud dalam tindakan teladan Guru yang tepat waktu. 

Kita tidak dapat mengklaim  bahwa para pemikir kemudian menjadi tidak penting karena mereka hanya bisa menyumbangkan pemikiran atau memberikan masukan berupa ide atau kritik. Kenyataannya suatu aksi nyata pun harus didasari perencanaan dan pemikiran yang matang supaya hasilnya bermanfaat bagi orang banyak. 

Dalam dunia di mana kita bidup ini, ada berbagai peran. Mereka yang menjadi pemikir, berpikir, merancang, dan ada "di balik layar",  juga mereka yang pekerja,  "nampak" dan melakukan aksi nyata. 

Semua saling melengkapi dan memberi kontribusi sesuai dengan porsinya masing-masing.

Yang jelas, manusia tanpa berpikir akan kehilangan jati dirinya sebagai manusia. 

Pemikir dan pekerja adalah sebuah sinergi. Berpikir dan bekerja semestinya menjadikan manusia semakin utuh sebagai makhluk yang  paling mulia yang terus menerus berjuang mencari kebenaran dan makna hidupnya. 

Bacaan : satu, dua, tiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun