Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Repotnya (Ingin) Punya Anak

14 Desember 2019   14:21 Diperbarui: 14 Desember 2019   20:37 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mengajak anak main ke luar. (sumber: freestocks.org)

Tentunya harus disiapkan biaya yang memadai. Bagi ukuran Yogya, orang tua paling tidak harus menyiapkan 500 ribu per bulan untuk mendapatkan fasilitas pentitipan anak dengan kategori baik, dan melayani sampai sore hari. Tentu saja kalau over time ada lagi tambahan biaya.

Ketika anak-anak beranjak remaja, perlahan kerepotan pengasuhan terselesaikan tergantikan kerepotan yang lain.

Bukan hanya soal biaya sekolah. Perilaku anak juga sering menjadi kerepotan bahkan "cobaan" tersendiri bagi beberapa orang tua. Keluhan beberapa orang tua siswa mengenai anak yang ngambek tidak mau sekolah, masalah seputar pergaulan negatif, menurunnya prestasi di sekolah, tuntutan anak, dan seabrek masalah lainnya.  

Kenyataannya belum punya anak juga tak kalah repotnya
Meskipun mengamati betapa repotnya para orang tua mengurus anak-anak. Kerinduan saya untuk memiliki anak kembali sebenanya tak pernah pupus. 

Ketika si kecil masih dalam masa pengobatan lebih kurang 5 tahun, waktu dan fokus saya hampir sepenuhnya tercurah kepadanya. Saya pun cukup lama ber- KB suntik. 

Sampai tidak terpikir untuk memiliki anak lagi di saat itu. Karena tak tega jika harus membagi perhatian. Kesulitan pengaturan waktu dan biaya pengobatan menjadi pertimbangan.

Bahkan untuk menutupi biaya saat itu kami berdua harus merelakan menjual kembali sebidang tanah kapling yang belum lama kami beli. Padahal awalnya itu adalah impian kami untuk membangun rumah idaman.

Setelah ananda tiada, kurang dari setahun saya dan suami mulai merasa rindu dan kesepian. Saat itu kami berpikir positif bahwa tidak lama lagi kami akan mendapat "penggantinya". Sayangnya kenyataannya tidak demikian.

Lewat sekitar 2 atau 3 tahun saya mulai merasa resah. Padahal suntik KB sudah berhenti cukup lama. Tetapi yang ditunggu tak kunjung tiba. Saya berinisiatif memeriksakan diri ke beberapa dokter spesialis kandungan.

Pendapat dua orang dokter semuanya "menyalahkan" saya. Terutama karena keputusan saya menggunakan kontrasepsi suntik lebih dari 4 tahun. Ada rasa menyesal. Memang saya akui bahwa di waktu yang lalu kurang mendapat edukasi mengenai alat kontrasepsi.

Hormon yang dihasilkan melalui suntik KB tidak begtu saja mudah hilang dari dalam darah meskipun yang bersangkutan sudah berhenti suntik. Lamanya seorang ibu kembali subur setelah suntik KB pun beragam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun