Mohon tunggu...
Redemptus Rizky
Redemptus Rizky Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

'pura-pura' penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Elegi Rupiah Rayap: Tukang Becak Vs Aspal Jalanan

25 Mei 2019   04:31 Diperbarui: 19 Oktober 2019   21:48 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang Becak mengatarkan penumpang yang membawa meja (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kisah tentang rupiah memang tak akan lekang ditelan waktu. Tuan besar ini rupanya sudah begitu lihai merubah wujud dan rupanya. Ia kadang menyelinap dalam kisah penghidupan, dalam kisah perjuangan, dalam kisah merdeka, dalam kisah mati, bahkan juga dalam kisah cinta. Konon, tentang kisah surga sekalipun. Komersialisasi surga pun bukan hal baru lagi bagi umat manusia. Singkatnya, semua kisah yang pernah diproduksi manusia hampir semuanya telah dimasuki rupiah. Demikian singkatnya rupiah berkisah. Jadi, jika Tuhan adalah sutradara hidup manusia, maka uang adalah Tuhan bagi sebagian orang.

Kisah tantang rupiah yang diangkat dalam tulisan ini adalah secuil kisah tentang rupiah yang ada dalam kisah hidup, perjuangan, kegetiran, kecemasan, dan "kayuh-mengkayuh" seorang tukang becak di daerah Kotagede, Yogyakarta. Tulisan ini berusaha menceritakan bagaimana ia menjalani pekerjaannya sebagai tukang becak di tengah gempuran modernisasi. Tentang bagaimana ia menafkahi keluarganya. Dan tentang rupiah yang tidak pernah berubah dan peduli ketika semuanya berubah. 

Siapa yang diceritakan dalam tulisan ini tepat berada di tengah situasi ini. Ia menjadi representasi dari orang-orang yang sedang dilema antara mengikuti arus modernisasi tapi tak punya rupiah atau tetap bertahan dengan cara konvensional tapi miskin rupiah pula. Hidup tak pasti. Mungkin itulah predikat yang pantas disandang orang-orang sepertinya. Sampai pada titik ini, jika Tuhan tidak akan memberi manusia cobaan diluar kemampuannya, maka manusia-manusia seperti inilah yang pantas menjadi hidden winners atau lebih dalam lagi sebagai forgotten heroes.

Elegi ini dimulai dari seorang tukang becak bernama Zaldikri. Pria kelahiran Yogyakarta 55 tahun silam ini adalah salah satu tukang becak yang masih bertahan dengan becak sepeda. 15 tahun sudah ia menjadi tukang becak. Waktu yang cukup hebat untuk sebuah pekerjaan yang sudah sekian banyak mendapat gempuran modernisasi. Munculnya tenologi-teknologi seperti sepeda motor, sampai dengan teknologi yang menurut pak Zaldikri sebagai "aplikasi" ternyata belum berhasil menyingkirkan bapak Zaldikri dan becak tuanya.

Tubuh sepeda yang sudah kelihatan keropos dan masih banyak lagi masalah teknis lainnya menjadikan pekerjaannya sebagai tukang becak semakin tidak pasti saja. "Pernah karena patah mas, disenggol mobil," katanya mengenang sepeda-sepedanya yang sudah ia ganti. Sangat sulit memang. Ia harus mulai dari nol lagi. Ketidakadaan modal membuatnya menganggur beberapa waktu. Pekerjaan serabutan di pasar pun pernah dilakoni. Hal-hal seperti itu sudah biasa bagi orang-orang seperti Zaldikri. "Susah mas, kita yang masih narik pake sepeda kayak gini," kata bapak Zaldikri sambil melihat kedepannya, kalau-kalau ada ibu-ibu yang menenteng belanjaan. "Orang-orang udah pada pindah ke motor sama aplikasi. Jarang sekali ada yang mau make jasa kita," tukas bapak Zaldikri melanjutkan. 

Jumlah tukang becak di Kotagede pun sekarang sudah sangat sedikit jumlahnya. Di pangkalan becak yang saya datangi, hanya ada sekitar 2 sampai 3 tukang becak yang ada. Menurut kesaksian pak zaldikri, jumlah tukang becak memang selalu menurun setiap tahunnya. Beberapa dari mereka sudah mulai dengan usaha baru, ada juga yang sudah pindah ke ojek motor. Bagi mereka, pekerjaan sebagai tukang becak bukan lagi sebuah pekerjaan yang menjanjikan.

Dari segi biaya, becak memang mematok harga yang lebih tinggi dari ojek motor. Hal ini sebenarnya wajar-wajar saja, mengingat tenaga yang dikeluarkan untuk mengayuh kendaraan yang satu ini lebih besar dari kendaran lain. Belum lagi barang bawaan penumpang yang melebihi batas normal. "Ya, mau tidak mau harus diangkut. Rejeki ga datang dua kali mas," kata pak Zaldikri sambil tertawa. Inilah salah satu hal utama yang menyebabkan becak tidak lagi diminati. Penumpang tentunya ingin harga yang terjangkau.

Selain itu, alasan efektivitas juga sering kali menjadi momok yang membuat orang-orang tidak mau menaiki becak. Lajunya yang lambat, dan sering kali terjebak di jalanan macet membuat becak semakin tidak diminati orang-orang. Ketika ditanya tentang berapa rata-rata penumpang dalam sehari, pak Zuldikri juga menjawab ala kadarnya. Katanya jika sedang ramai, bisa sampai 2 sampai 3 penumpang. Namun jika sedang sepi, biasanya 1 penumpang saja. Tak jarang pula ia tidak mendapat penumpang sama sekali. Risiko seperti itu harus siap diterima oleh para tukang becak seperti bapak Zaldikri.

Tak jarang pula pak Zaldikri menjadi tukang antar barang. Para pedang dari Pringgolayan yang berdagang di daerah Pasar Kotagede biasanya menggunakan jasa mereka untuk menghantar barang mereka ke Pringgolayan. Barang bawaannya tidak main-main banyaknya. Para pedagang tersebut juga tidak mau dirugikan dengan menyewa becak berkali-kali pergi pulang Pringgolayan-Kotagede. Maka cara paling tepat adalah memasukan barang dagangan sebanyak mungkin dalam satu kali pengantaran. Pecah ban adalah hal yang biasa dalam situasi seperti ini, dan para pedagang tidak mau tau tentang hal itu.

Mengandalkan penghasilannya sebagai seorang tukang becak, ternyata tidak cukup untuk menghidupi keluarganya. Pak Zaldikri biasanya narik dari jam 7 pagi sampai jam 1 siang. Pada sore hari, ia jualan angkringan. Katanya, lumayan untuk menambah penghasilan. Menurut kesaksiannya, ia sangat jarang mendapat sakit. Mungkin karena keseringan mengayuh becak. 

Sebenarnya pak Zaldikri telah lama menjadi seorang kakek. Cucu pertamanya telah berumur 4 tahun. "Udah gede", katanya. Pak Zaldikri memiliki 3 orang anak. Ketiganya sudah sukses katanya. Sudah dapat kerja baik semua. Dan sampai sekarang, ia baik-baik saja.

Saya pun tiba pada sebuah pertanyaan terakhir. "Apakah bapak akan tetap bertahan becak pak?" Demikian saya bertanya. "Sebenarnya sudah mau pindah ke motor mas, tapi ga punyak modal. Mau tetep jadi tukang becak juga susah. Gak pasti mas kita dapatnya sehari berapa," ungkapnya.

"Kita kalah sama ojek aplikasi itu loh mas," kata bapaknya sambil tetap melihat kedepan, menunggu-nunggu penumpang. Saat itu saya sadar, orang-orang seperti bapak Zaldikri bukanlah orang-orang yang sekadar bertahan dengan becak konvensional. Namun, mereka adalah orang-orang yang pasrah pada keadaan dan mencoba meladeninya dengan segenap kemampuan yang ada. Baginya, tidak ada yang lebih penting dari keluarga.

Demikian elegi ini berkisah. Rupiah rayap adalah istilah yang saya sematkan pada cuil duit yang dengan susah payah mereka dapatkan. Mereka adalah orang-orang yang memilih untuk merayap dari pada mengemis.

Yogyakarta,25 Mei 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun