Oleh:
Riska Choirun Nisa dan Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H.
Korupsi memang menjadi masalah besar di Indonesia dan pemberantasannya menjadi prioritas agenda pemerintah saat ini. Di negeri ini pun, korupsi telah dipelajari dari berbagai sudut selama beberapa dekade. Kajian tentang korupsi dan perlawanannya dari perspektif hukum Islam sangat jarang dilakukan. Bahkan, ada referensi masalah korupsi dalam Harta Syariah yang patut untuk dipikirkan.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sangat mengutuk korupsi, karena komentar ulama Indonesia mengatakan bahwa tindakan ini  melanggar nilai-nilai agama dan ilegal. Mungkin mereka bisa melihat ciri korupsi dalam perspektif, dari segi pemahaman, karakter dan lainnya. Serta mengutip istilah Zuhail bahwa apa yang haram diterima secara universal karena definisi Haram adalah menghindari kejahatan atau menahan diri dari  mafsadat  di dalamnya.
Hal ini merujuk firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 188, yang memiliki arti: "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 Â dan Perubahannya (UU No. 20 Tahun 2001) yang menyangkut UU No. 31 tentang penghapusan tindak pidana korupsi dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi adalah perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau masyarakat, yang dapat merugikan perekonomian negara atau keuangan negara.
Perbuatan korupsi dengan pengaruh dan akibat yang berbeda-beda tergolong perbuatan melawan hukum dengan mafsadah dan tingkat bahaya yang tinggi. Selain itu, dapat digunakan sebagai 'illat untuk menemukan dan membentuk hukum menurut pandangan Islam dan kemungkinan hukuman berat bagi penjahat, karena perilaku tersebut tidak hanya mengancam individu, tetapi juga masyarakat pada umumnya.
Regulasi Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, yaitu:
1. Bentuk Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi sesuai Hukum Pidana Islam
Terdapat upaya bentuk-bentuk tradisional mengenai pidana Islam sebagaimana ditentukan dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta dinamika penafsiran inovatif atau pengembangan bentuk-bentuk pidana Islam itu. Dari segi ini dapat disimpulkan ada beberapa bentuk, antara lain bahwa secara tradisional, bentuk-bentuk pidana Islam itu meliputi:
- Pidana Qishash atas jiwa
- Pidana Qishash atas badan
- Pidana diyat (denda ganti rugi)
- Pidana Mati
- Pidana Penyaliban
- Pidana Pelemparan batu sampai mati (Rajam)
- Pidana Potong tangan atau kaki
- Pidana Potong tangan dan kaki
- Pidana Pengusiran atau pembuangan
- Pidana Penjara seumur hidup
- Pidana Cambuk atau dera
- Pidana Denda pengganti diyat
- Pidana Teguran atau peringatan
- Pidana Penamparan atau Pemukulan
- Pidana Kewajiban religious (kaffarah)
- Pidana Tambahan lainnya (takzir)
- Bentuk-bentuk pidana lainnya yang dapat dikembangkan sebagai konsekuensi dari pidana takzir
2. Takzir Sebagai Instrumen Sanksi Bagi Koruptor
Definisi Takzir menurut syara’ adalah hukuman yang bersifat mendidik atas dosa yang tidak dijelaskan oleh hadd (sanksi) dan kafarat (penebusnya), selain itu dapat juga dikatakan bahwa ia merupakan hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah (imam) atas tindak pidana atau dosa yang sanksinya belum ditentukan dalam agama, atau telah ditetapkan sanksinya tapi tidak mencukupi persyaratan pemberlakuan sanksi tersebut.