Oleh:Â
Riska Choirun Nisa dan Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H.
Beberapa waktu yang lalu, marak sekali terjadi Klitih di Yogyakarta. Korban yang terkena serangan ini bervariasi, dari remaja hingga orang dewasa. Terakhir, terdapat kasus Klitih yang menewaskan anak dari anggota dewan.
Melihat sejarahnya, pelaku klitih seringkali berasal dari geng sekolah. Mulanya, mereka hanya bertikai dengan geng sekolah lain. Namun, lambat laun mereka mulai memilih korban secara acak. Hal ini seringkali menodai Yogyakarta yang terkenal dengan kota pelajar. Lebih lagi, pelaku adalah anak di bawah umur, lalu bagaimana hukum menjerat pelaku?
Hingga saat ini, belum ada alasan konkrit mengapa pelaku klitih ini menyerang orang secara acak. Beberapa kajian mengatakan bahwa pelaku klitih ini adalah sekelompok remaja yang mencari pengakuan.
Ada semacam garis abu-abu untuk menjerat pelaku klitih yang masih di bawah umur. Di satu sisi, mereka adalah anak remaja yang belum bisa tersentuh hukum, tetapi di lain sisi mereka melakukan tindak kriminal. Lebih jauh lagi, beberapa pelaku hanya mendapatkan konseling dari pihak kepolisian sebelum dibebaskan. Tentu, hal ini tidak menjadikan efek jera bagi pelaku.
Sementara, jika melihat Pasal 338 KUHP, yang berbunyi: "Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun". Hal tersebut berarti pelaku klitih ini seharusnya mendapat hukuman tersebut. Namun, karena masih di bawah umur, mereka masih bisa lolos.
Sementara itu QS. Surah Al-Isra' Ayat 33 yang berbunyi:
Artinya: "Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan."
Pelaku klitih sering terjadi karena pemerintah bahkan hukum di indonesia tidak mengambil tegas untuk para pelaku. Penangan klitih juga sering terhambat karena pelaku masih di bawah umur. Hal ini tertera dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), ada dua jenis sanksi yang akan dikenakan pada pelaku pidana anak menurut Undang-Undang SPPA, yakni sanksi tindakan dan sanksi pidana. Sanksi tindakan pada anak lebih ke arah non pidana, seperti pengembalian pada orang tua, diserahkan ke LPKS hingga mengikuti pendidikan formal.
Namun, yang perlu ditekankan adalah sebuah pendekatan yang salah dari pemerintah. Pendekatan yang represif cenderung membuat pelaku klitih berontak. Hal ini tentu akan menambah masalah baru. Terlebih, tak pernah ada diskusi dengan pelaku mengenai apa yang sebenarnya mereka inginkan.