Zaman telah berubah, dan dunia pendidikan ikut berputar di dalamnya. Dahulu, ruang kelas menjadi satu-satunya tempat guru menunjukkan dedikasi. Kini, setiap sudut kehidupan bisa menjadi "kelas"---karena kamera selalu menyala, dan media sosial tak pernah tidur.
Menjadi guru di era viral bukan perkara mudah. Di satu sisi, mereka diminta menjadi teladan yang tak bercela. Di sisi lain, mereka hanyalah manusia yang juga bisa lelah, marah, atau salah langkah. Namun dunia digital sering kali tak memberi ruang bagi penjelasan; satu potongan video bisa meruntuhkan wibawa yang dibangun bertahun-tahun.
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh video guru yang karaoke saat jam pelajaran. Tak lama berselang, beredar kisah haru tentang guru yang tetap mengetik nilai meski tubuhnya sudah rapuh. Dua cerita berbeda, namun sama-sama menggambarkan kenyataan: profesi guru kini hidup di bawah bayang-bayang kamera dan penilaian publik.
Ironinya, masyarakat sering kali menilai guru hanya dari satu momen --- tanpa tahu beban, tekanan, dan pengorbanan di baliknya. Padahal di balik senyum seorang guru, tersimpan tanggung jawab moral dan sosial yang begitu berat: membentuk karakter, menuntun jiwa, dan menjadi contoh, bahkan ketika hatinya sendiri sedang diuji.
Media sosial menjadikan batas antara ruang publik dan pribadi semakin kabur. Maka, menjaga etika bukan lagi sekadar soal "bagaimana mengajar di depan murid," tetapi juga "bagaimana bersikap di depan dunia." Setiap ucapan, setiap tindakan, bisa direkam, dipotong, dan disebarluaskan tanpa izin.
Namun di tengah derasnya arus digital, kita juga perlu belajar untuk tidak mudah menghakimi. Guru bukan malaikat; mereka manusia yang mengabdi dengan segala keterbatasannya. Kadang kesalahan kecil yang viral bukan karena mereka tak profesional, tapi karena mereka kelelahan menjaga terlalu banyak harapan.
Viral, pada akhirnya, bukan hanya tentang popularitas. Ia bisa menjadi cermin: apakah sistem pendidikan kita sudah benar-benar adil pada mereka yang berdiri di depan kelas? Apakah kita memberi cukup penghargaan sebelum menuntut kesempurnaan?
Guru di era viral harus belajar dua hal: mengajar dengan hati, dan menjaga hati di tengah sorotan. Karena kini, menjadi guru bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tetapi juga tentang menjaga kehormatan profesi di tengah dunia yang gemar menyorot tanpa memahami.
Mereka tidak butuh tepuk tangan yang ramai, cukup penghargaan yang tulus. Tidak perlu dipuja karena viral, cukup dihargai karena ketulusan yang tak terlihat kamera.
Dan mungkin, di antara semua hal yang berubah di era digital ini, satu hal yang tidak pernah berubah adalah: