Mohon tunggu...
riska nuraini
riska nuraini Mohon Tunggu... Ahli Gizi - suka menolong orang

seorang yang senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saling Toleran Mampu Cegah Bibit Radikal

13 Maret 2018   00:28 Diperbarui: 13 Maret 2018   01:29 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar. Tapi Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Dari Aceh hingga Papua, mempunyai berbagai macam suku dengan budaya dan bahasa yang berbeda. 

Masing-masing daerah mempunyai karakter yang berbeda. Dan keberagaman itulah yang membuat Indonesia kaya. Namun, keberagaman itu bisa menjadi sebuah ancaman, jika masyarakatnya tidak bisa mengolahnya. Dan banyak contoh konflik yang terjadi di daerah, karena tidak bisa mengelola keberagaman itu sendiri.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, masyarakat Indonesia semestinya mau dan mampu mengedepankan kearifan lokal di daerahnya masing-masing. Mari kita belajar dari sejarah. Ketika wali songo menyebarkan Islam di tanah jawa, sangat menghargai kebudayaan lokal yang ada ketika itu. 

Bahkan, tidak pernah ada paksaan kepada masyarakat yang ketika itu sudah memeluk Hindu ataupun Budha, untuk masuk Islam. Bahkan Islam juga bisa berakulturasi dengan budaya-budaya lain yang sudah ada sebelumnya. Bayangkan, betapa indahnya Indonesia, jika semua budaya-budaya itu terus lestari hingga generasi mendatang.

Sekali lagi, Islam sangat menghargai kearifan lokal. Jika saat ini ada kelompok yang menyatakan memperjuangkan menegakkan ajaran Allah SWT, tapi justru intoleran terhadap keberagaman, tentu itu bukanlah hal yang diajarkan dalam Islam. 

Sekali lagi, lihatlah sejarah di Indonesia. Sunan Kalijaga, salah satu wali songo yang dikenal sangat adaptif dengan budaya yang ada. Beliau selalu memperkenalkan agama secara fleksibel, tanpa harus menghilangkan tradisi yang telah ada. Beliau sering menggunakan seni, misalnya seni ukur, wayang, gamelan, hingga lagu untuk berdakwah.

Mari kita lihat di era milenial yang serba modern ini. Tradisi yang dulunya dipegang kuat, pelan-pelan mulai luntur oleh berbagai macam budaya dan paham dari luar. Toleransi berubah menjadi intoleran. 

Keramahan berubah menjadi sikap yang mudah marah. Pesan-pesan damai berubah menjadi ujaran kebencian. Semua itu merupakan bentuk bibit radikalisme, yang pelan-pelan telah menggerogoti sendi kehidupan kita. Korbannya pun juga beraneka ragam. Dari anak-anak hingga dewasa. Dari masyarakat biasa, mahasiswa, pegawai negeri, hingga para politisi. Ini artinya, radikalisme pelan-pelan telah menghilangkan tradisi kita sebagai masyarakat.

Padahal, kearifan lokal merupakan salah satu benteng tolak balak bibit radikal. Kearifan lokal yang ada, semestinya bisa saling menghormati dan menghargai. Kearifan lokal terbukti bisa menyandingkan semua keberagaman, tanpa harus mencari perbedaan. 

Dan salah satu kearifan lokal yang kita punya adalah toleransi. Saling menghormati dan menghargai merupakan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang, dan masih diadopsi dalam Pancasila dan UUD 1945. Dengan menjunjung tinggi toleransi, maka keragaman Indonesia dari Aceh hingga Papua masih tetap terjaga. Dan dengan mengimplementasikan toleransi dalam perilaku dan ucapan, maka bibit radikal yang terbukti mengganggu negeri ini, akan mudah dilawan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun