Penulis: Khairatun Hisaan, Resika Chelsea Pasha
Tragedi yang menimpa seorang pendaki wanita berusia 26 tahun menjadi pengingat pahit akan risiko nyata yang menyertai setiap langkah di jalur pendakian Gunung Rinjani. Korban ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa setelah sempat dilaporkan hilang selama beberapa hari di kawasan Cemara Tunggal yang merupakan jalur menuju puncak Rinjani, salah satu jalur paling ekstrem di Rinjani. Berdasarkan laporan autopsi kedua yang dilansir BBC Indonesia (2025), pendaki tersebut diperkirakan masih bertahan hidup hingga 32 jam setelah terjatuh sebelum akhirnya meninggal akibat luka yang dideritanya.
Peristiwa ini bukanlah satu-satunya insiden tragis yang terjadi. Dalam empat tahun terakhir, sedikitnya telah terjadi lebih dari sepuluh kecelakaan serius di kawasan Gunung Rinjani, mulai dari pendaki yang jatuh ke jurang, tersesat, hingga meninggal dunia. Para korban tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari berbagai negara seperti Portugal, Malaysia, Swiss, Irlandia, dan Belanda (BBC Indonesia, 2025). Sebagian besar kecelakaan terjadi di jalur-jalur curam seperti Torean, Pelawangan Sembalun, dan puncak Rinjani, yang dikenal rawan longsor dan minim pengamanan alami (Jasthin et al., 2024)
Situasi ini menggambarkan bahwa dibalik keindahannya sebagai destinasi wisata alam, Gunung Rinjani menyimpan tantangan serius dalam hal keselamatan. Dilansir Tempo.co pada 16 Juli 2025, Pada pertengahan Juli 2025, dua pendaki asal Eropa kembali menjadi korban di jalur Pelawangan Sembalun dalam dua hari berturut-turut. Menanggapi rentetan insiden yang terjadi sejak Juni hingga Juli 2025, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) memutuskan untuk menutup sementara jalur pendakian dari Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak, terhitung mulai Rabu, 16 Juli 2025 hingga batas waktu yang belum ditentukan. Seperti dilansir Kompas.com pada 18 Juli 2025, jalur tersebut dinilai terlalu beresiko karena medannya yang sangat terjal dan curam, terutama saat licin akibat hujan. Jalur ini sebelumnya kerap digunakan sebagai lintasan turun menuju Senaru atau Torean. Keputusan ini menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap aspek keselamatan dan manajemen risiko dalam kegiatan pendakian Gunung Rinjani, agar insiden serupa tidak kembali terjadi.
Situasi geografis Rinjani turut memperparah kompleksitas medan. Gunung Rinjani secara geografis menjulang dengan gagah di tengah pulau lombok, puncaknya tampak menyentuh langit biru Nusa Tenggara Barat. Wilayah administrasi Gunung Rinjani berada di Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara. Terletak pada koordinat 11621'30" - 11634'15" BT dan 818'18" - 832'19" Â LS Â dengan ketinggian puncak tertingginya 3.726 MDPL setara dengan 12.224 kaki di atas permukaan laut, menjadikannya gunung berapi aktif tertinggi kedua di Indonesia. Status vulkaniknya menjadikan wilayah di sekitarnya rawan terhadap letusan, gempa, dan pergerakan tanah. Selain itu, kecepatan angin yang tinggi serta pembentukan awan orografis akibat bentuk topografi gunung yang menyebabkan cuaca berubah secara ekstrem dan mendadak.
Melengkapi aspek geografis tersebut, dari sudut pandang morfologi, Gunung Rinjani memiliki kaldera yang memanjang dari timur dan barat seluas 3.500 m x 4.800 m (Suardana et al., 2023). Kaldera ini berbentuk menyerupai bulan sabit membentuk setengah lingkaran yang terbentuk akibat letusan besar di masa lalu. Di dalam kaldera ini terdapat Danau Segara Anak, sebuah danau berwarna biru kehijauan. Selanjutnya, bagian timur danau terdapat Gunung Barujari yang sering disebut anak Gunung Rinjani. Anak Gunung Rinjani terbentuk dari aktivitas erupsi pasca-pembentukan kaldera yang sering mengalami letusan secara berkala dan menjadi pusat aktivitas vulkanik saat ini. Selain itu, lereng-lereng Rinjani terbagi ke dalam beberapa zona vegetasi yang mencerminkan variasi ketinggian dan kelembaban. Di bagian bawah, hutan hujan tropis tumbuh subur dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Semakin ke atas, ekosistem bergeser menjadi hutan montana yang lebih sejuk dan lembap, lalu bertransisi ke zona sub-alpin yang ditandai oleh semak kerdil, rumput-rumputan, dan vegetasi tahan dingin.
Gunung Rinjani memiliki kondisi geologi yang kompleks dan medan pendakian yang cukup ekstrem, sehingga meningkatkan potensi risiko bagi para pendaki. Letusan masa lalu, aktivitas seismik, serta karakteristik geomorfologi kawasan menyebabkan terbentuknya jalur-jalur yang curam, sempit, dan rawan longsor. Kondisi ini kerap menjadi hambatan dalam proses evakuasi dan juga meningkatkan potensi kecelakaan, terutama saat cuaca buruk atau musim hujan.
Hal ini tampak jelas pada beberapa jalur pendakian, salah satunya adalah jalur Torean. Jalur ini sebenarnya menawarkan pemandangan yang sangat indah, tetapi juga menyimpan banyak potensi bahaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muntasib et al., (2023), terdapat tiga jenis risiko utama di jalur ini yaitu fisik, biologis, dan aktivitas manusia. Risiko fisik, seperti jurang, jalur licin, suhu rendah, dan tanah labil mendominasi area Torean. Secara geologis, struktur tebing di sepanjang jalur ini terdiri atas batuan vulkanik muda yang mudah tererosi dan rentan longsor. Jalur yang sempit dan melintasi aliran sungai dan tebing curam menjadikannya sangat berbahaya, terutama saat musim hujan. Dalam kurun waktu tahun 2021--2022, tercatat beberapa insiden pendaki jatuh dan cedera, memperkuat urgensi mitigasi risiko pada jalur ini.
Sementara itu, jalur Sembalun--Senaru, yang merupakan rute paling populer, menghadirkan tantangan yang berbeda. Jalur Sembalun memiliki lintasan terbuka tanpa banyak naungan, menyebabkan pendaki lebih cepat mengalami kelelahan akibat paparan sinar matahari langsung dan minimnya titik perlindungan alami. Raytodi et al., (2020) mencatat bahwa tanjakan panjang serta minimnya sumber air memperbesar risiko dehidrasi dan heat exhaustion.Â
Di sisi lain, jalur Senaru melalui hutan lebat yang sejuk, tetapi menyimpan bahaya akar licin, bebatuan, dan kontur menanjak dari awal. Secara geologis, kedua jalur ini berada di wilayah dengan lereng vulkanik aktif dan material lepas yang tidak stabil. Menurut Jasthin et al., (2024), bahwa terdapat titik-titik rawan longsor dan jurang terbuka, khususnya mendekati area Pelawangan dan puncak Rinjani. Risiko ini semakin tinggi ketika visibilitas menurun akibat kabut atau saat hujan turun.
Jalur menuju puncak Gunung Rinjani sendiri merupakan bagian akhir dari jalur Sembalun, yang dikenal para pendaki sebagai "jalur summit". Bagian paling ekstrem dari jalur ini adalah lintasan yang disebut "Letter E". Dinamai demikian karena bentuknya yang menyerupai huruf E jika dilihat dari ketinggian. Jalur ini dimulai dari titik Cemara Tunggal, pos terakhir sebelum serangan puncak (summit attack), lalu melewati Tanjakan Pasir yaitu lereng vulkanik curam dan licin hingga mencapai Letter E yang sempit, terjal, dan berbatu. Kondisi fisik jalur ini membuatnya menjadi titik paling berisiko dalam seluruh lintasan pendakian, terutama saat hujan atau angin kencang melanda (Ilyas et al., 2022). Meskipun tidak secara resmi dinamai dalam sistem BTNGR, istilah-istilah ini sudah umum digunakan oleh komunitas pendaki dan pemandu lokal.