Setiap menjelang tahun ajaran baru, percakapan para orangtua di grup WhatsApp berubah seperti forum debat calon presiden. Pertanyaan klasik kembali muncul dengan versi yang makin kompleks: "Mau disekolahkan di mana, nih?" Sekolah negeri? Sekolah swasta? Internasional? Homeschooling? Bahkan kadang, bukan hanya pilihannya yang rumit, tetapi alasan di baliknya yang tak selalu jujur.
Sebagian memilih sekolah negeri karena biaya lebih terjangkau, kedekatan lokasi, atau keyakinan pada nilai-nilai keberagaman yang ditanamkan. Sebagian lainnya memilih sekolah swasta karena mempertimbangkan mutu akademik, kenyamanan fasilitas, atau kurikulum yang dianggap lebih modern dan progresif. Di antara pilihan-pilihan itu, sayangnya, seringkali terselip satu pertimbangan yang seharusnya tidak menjadi penentu utama: gengsi.
Orangtua bukan hanya sedang memilih sekolah, tapi juga sedang berusaha memproyeksikan identitas sosialnya. Tak jarang, sekolah anak dijadikan simbol status: makin mahal, makin dianggap "wah". Tak peduli apakah anak betah, berkembang, atau merasa tertekan. Padahal, pendidikan bukan etalase gaya hidup, melainkan proses pembentukan karakter dan potensi manusia yang sangat personal.
Perspektif dari Ruang Kelas hingga Luar Negeri
Galih Sulistyaningra, CEO Smartick Indonesia, memberikan pandangan yang menarik dan membumi. Ia merupakan penerima beasiswa LPDP yang pernah menempuh pendidikan di University College London (UCL), dengan latar belakang kuat di bidang teknologi pendidikan. Setelah menyelesaikan studinya, Galih sempat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan mengajar di sekolah negeri. Pengalamannya bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan publik di Indonesia membentuk pandangan reflektifnya mengenai sistem pendidikan nasional.
Dalam sebuah wawancara, Galih menyampaikan:
"Kalau memang kita mau anak kita punya pemahaman tentang keberagaman, gak ada yang lebih bagus dari sekolah negeri siy menurutku."
Pernyataan tersebut tidak sekadar opini pribadi, melainkan lahir dari pengalaman langsung berada dalam sistem dan interaksi nyata dengan peserta didik dari berbagai latar belakang. Pernyataan ini mungkin terdengar sederhana, tapi punya makna yang dalam. Di sekolah negeri, anak-anak tidak hanya bertemu teman sebaya dari beragam latar belakang. Mereka tumbuh bersama dalam suasana yang mencerminkan realitas negeri ini sesungguhnya. Sekolah negeri adalah cermin miniatur masyarakat Indonesia: beragam dari sisi etnis, sosial ekonomi, agama, gaya hidup, bahkan cara bicara.
Dalam lanskap sosial yang makin terfragmentasi oleh kelas dan algoritma digital, ruang kelas sekolah negeri justru bisa menjadi benteng terakhir pendidikan toleransi yang nyata, bukan sekadar materi di atas kertas. Anak-anak tidak hanya belajar menghitung atau membaca, tetapi juga memahami perbedaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sebagai konsep dalam buku. Anak tidak hanya belajar tentang pluralisme dari buku PPKn, tapi dari teman sebangkunya, guru piketnya, satpam gerbang sekolah, atau pedagang jajanan di pagar.
Dalam era digital yang penuh gelembung informasi (filter bubble), ketika algoritma membuat kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat, sekolah negeri justru menjadi ruang nyata untuk belajar hidup berdampingan. Toleransi, empati, dan pemahaman sosial bukan sekadar konsep, tapi pengalaman harian yang terus diasah.