Kalimat pada judul bukan sekadar metafora, tapi sebuah gambaran tajam tentang situasi yang nyata.
Harga rumah yang semakin tinggi di luar jangkauan penghasilan banyak orang menunjukkan bahwa membeli rumah bukan lagi soal kemampuan finansial, melainkan sebuah dilema eksistensial.
Harga rumah yang dulu tampak wajar, kini seperti berada di dunia lain terlalu mahal untuk dijangkau oleh mereka yang bekerja keras dengan penghasilan rata-rata.
Saya pernah bertanya-tanya, apakah ini memang realita baru yang harus kita terima? Ketika harga rumah melebihi harga hidup, apa artinya itu bagi mereka yang masih bermimpi punya tempat sendiri?
Dalam pandangan sederhana saya, hal ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal nilai kehidupan yang mulai terdistorsi.
Ketika harga rumah melebihi harga hidup, artinya adalah: kita menghadapi situasi di mana membeli rumah bisa membuat seseorang harus mengorbankan kebutuhan dasar lain seperti kesehatan, pendidikan, makanan, dan kebahagiaan.
Mimpi yang Menjadi Beban Berdasarkan Realita
Bagi banyak orang, terutama generasi muda dan kelas menengah bawah, rumah kini bukan lagi sebuah tujuan mudah. Harga tanah dan material bangunan melambung tinggi, sementara upah atau pendapatan tidak bertambah secepat itu.
Misalnya, banyak pekerja kantoran yang rela menghabiskan hampir seluruh gajinya hanya untuk mencicil rumah selama puluhan tahun.
Lainnya harus menunda menikah, punya anak, atau memenuhi kebutuhan hidup dasar lainnya demi seonggok tanah dan dinding. Bukan hanya soal uang, tapi soal kualitas hidup yang makin tergerus.
Banyak yang sudah menyerah, menganggap punya rumah adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh orang dengan penghasilan besar atau yang punya privilege tertentu.
Ada pula yang kemudian menyusun strategi finansial rumit, mulai dari investasi, menabung ketat, hingga mencari pinjaman yang bikin jantung dag-dig-dug.