Bangka Belitung dikenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia. Tapi di balik kekayaan timah ini, muncul banyak masalah dan konflik antar masyarakat. Yang paling nyata adalah bentrokan kepentingan antara penambang (PT Timah maupun penambang rakyat) dengan para nelayan, pelaku pariwisata, petani hingga pemilik kebun. Contohnya seperti yang terjadi di kawasan Batu Beriga, Bangka Tengah dimana konflik antar sektor ini mengakibatkan keresahan sosial yang berkepanjangan. Sebagai mahasiswa, kami merasa perlu menawarkan solusi yang bisa diterima semua pihak.
Konflik ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, sering terjadi tambang yang dibuka di wilayah yang sebenarnya merupakan area tangkap ikan para nelayan, wilayah pantai yang jadi objek wisata, atau lahan pertanian/perkebunan. Contohnya di Rias, warga resah karena area perkebunan mereka digusur untuk kegiatan tambang. Kedua, kerusakan lingkungan akibat tambang yang tidak bertanggung jawab. Banyak laut dan pantai yang rusak, yang otomatis mengganggu mata pencaharian nelayan dan sektor pariwisata. Ketiga, kurangnya komunikasi antara PT Timah, penambang rakyat, dan masyarakat dari sektor lain. Kasus Batu Beriga jadi bukti nyata bagaimana komunikasi yang buruk bisa memicu konflik terbuka antar masyarakat.
Menurut saya sebagai mahasiswa, terdapat beberapa solusi yang bisa ditawarkan untuk menjadi penengah. Pertama, kami bisa mengadakan "Forum Dialog Berkelanjutan Timah" yang mengundang semua pihak: PT Timah, penambang rakyat, nelayan, pelaku wisata, petani, dan pemerintah daerah. Forum ini bukan cuma tempat bicara, tapi juga tempat merencanakan bagaimana timah bisa dikelola tanpa merugikan sektor lain. Peran kami sebagai mahasiswa adalah jadi penengah netral, memastikan semua pihak dapat bicara dan didengar. Pakai pendekatan ilmiah, kami bisa bantu petakan mana zona yang cocok untuk tambang, mana untuk nelayan, mana untuk wisata dan pertanian.
Kedua, mahasiswa dari berbagai jurusan (teknik pertambangan, pertanian, kelautan, ekonomi, dll) bisa melakukan penelitian bersama. Misalnya riset cara reklamasi tambang yang bisa jadi lahan pertanian produktif, model tambang yang tidak merusak lingkungan, sistem zonasi yang adil untuk semua sektor, dan cara kompensasi yang fair bagi masyarakat yang kena dampak tambang. Hasil penelitian ini tidak boleh cuma jadi laporan di perpustakaan, tapi harus jadi panduan praktis yang bisa dipakai semua pihak.
Ketiga, mahasiswa bisa bentuk "Tim Pemantau Independen" yang terdiri dari mahasiswa dan perwakilan masyarakat. Tim ini tugasnya mengawasi apakah perusahaan tambang mematuhi aturan lingkungan dan komitmen sosial mereka. Data pemantauan ini dipublikasikan secara terbuka dan jadi bahan evaluasi di Forum Dialog tadi.
Keempat, konflik ini juga terjadi karena banyak orang terlalu bergantung pada satu sektor ekonomi. Kami mahasiswa bisa dampingi masyarakat lewat program diversifikasi ekonomi, seperti: bikin agrowisata di bekas tambang, latih penambang dengan keahlian lain supaya ga terlalu bergantung pada tambang di area sensitif, dan bantu pasarkan produk lokal ke pasar yang lebih luas lewat digitalisasi.
Untuk mewujudkan ide-ide ini, perlu langkah-langkah nyata. Mulai dari memetakan siapa saja yang berkonflik dan apa kepentingan mereka, lalu adakan kegiatan informal untuk bangun kepercayaan antar kelompok yang bentrok. Selanjutnya, formalkan Forum Dialog dengan aturan main yang disepakati semua pihak. Terus rumuskan solusi bersama tentang zonasi, regulasi, dan kompensasi. Coba terapkan solusi tersebut di skala kecil dulu untuk buktikan efektifitasnya, lalu evaluasi dan sesuaikan strategi berdasarkan hasil di lapangan.
Menurut saya, konflik tambang timah ini sebenarnya bukan masalah yang tidak bisa diselesaikan. Ini justru peluang untuk kolaborasi. Kita sebagai mahasiswa tidak boleh cuma bisa kritik, tapi harus tawarkan solusi nyata berdasarkan ilmu yang kita punya. Dengan pendekatan yang menghargai kepentingan semua pihak, kita bisa wujudkan pengelolaan timah yang menguntungkan secara ekonomi, tidak merusak lingkungan, dan diterima secara sosial.
"Win-win solution" antara tambang timah dan sektor lain hanya bisa terwujud kalau semua pihak mengakui legitimasi kepentingan masing-masing dan bersedia berkompromi. Kami sebagai mahasiswa punya posisi strategis sebagai penengah netral karena tidak punya kepentingan bisnis dalam konflik ini. Dengan mempertemukan berbagai pihak dalam dialog yang konstruktif, menghasilkan solusi berbasis penelitian, dan membantu implementasi solusi tersebut, kami bisa memastikan kekayaan timah jadi berkah, bukan musibah bagi masyarakat dan lingkungan. Yang paling penting, semua pihak harus berkomitmen mengelola sumber daya alam secara bijak demi kesejahteraan saat ini dan masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI