Kedengarannya sangat mulia.Â
Dikutip dari detik.com (11/12) dengan judul: "Ke Paris, Fahri Hamzah Belajar Pencegahan Korupsi dari 'KPK' Prancis", diberitakan bahwa Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, memimpin delegasi DPR RI ke Prancis untuk mendalami praktik pemberantasan korupsi di Prancis melalui pertemuan dengan Lembaga Antikorupsi Perancis, Agence Franaise Anticorruption (AFA), di Paris.
Delegasi DPR RI yang dipimpin Fahri tersebut terdiri dari Sodiq Mujahid (F-Gerindra), Ahmad Riski Sadig (F-PAN), Mafirion (F-PKB), Jazuli Juwaini (F-PKS), Arsul Sani (F-PPP), Muchtar Luthfi (F-NasDem), Lalu Gede Mujahidin (F-Hanura), serta Badan Keahlian DPR dan tenaga ahli.
___
Tetapi entah apa yang ada dipikiran saya. Sepertinya saya kurang greget dan seakan-akan tidak ikhlas dengan kepergian mereka itu ke sana. Dan bahkan saya merasa terganggu dengan "niat mulia" mereka. Padahal bukankah mereka sudah berkorban demi bangsa dan negara, rela pergi jauh-jauh ke Eropa, meninggalkan anak dan istri, hanya demi belajar pencegahan korupsi?
Mengapa saya harus keberatan jika Fahri Hamzah and Friends "belajar kilat" ke Paris? Bukankah niat mereka itu mulia? Bukankah korupsi itu harus diberantas dan koruptor harus diberangus? Dan bukankah pencegahan serta penindakan terhadap koruptor harus terus ditingkatkan? Bukankah koruptor itu musuh bangsa yang harus "di habisi" sampai ke akar-akarnya?
Tetapi, entahlah...
Saya tidak yakin kepergian mereka itu jauh-jauh ke sana dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit akan membawa hasil yang positif untuk bangsa dan negara ini, khususnya dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Saya koq bisa-bisanya melihat mereka ke sana hanya sebagai liburan akhir tahun untuk menghabiskan anggaran.
Sebegitu jahatkah aku berpikir sedemikian buruk terhadap mereka? Bukankah studi banding itu bagian dari pekerjaan mereka yang sah menurut aturan? Dan bukankah biaya studi banding itu memang sudah ada anggarannya?
Ketika beberapa tahun lalu beberapa anggota DPR RI pergi studi banding ke Athena, Yunani untuk "belajar etika", ketika itu banyak orang yang nyinyir, termasuk saya. "Belajar etika koq harus jauh-jauh ke Yunani? Bukankah negara kita yang agamis ini jauh lebih beretika dari negara Yunani? Dan setelah mereka pulang dari sana apa yang mereka bawa, apakah mereka semua lebih beretika dari sebelumnya?
Mengenai Fahri yang selama ini ngotot ingin membubarkan KPK, masih perlukah jauh-jauh belajar ke "KPK"nya Perancis? Lagi pula ini kan periode terakhir Fahri menjabat di legislatif dan tahun depan sudah dipastikan tidak akan menjabat lagi, apakah ilmu yang didapat dari sana masih bisa digunakan kelak?
(RS)