Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jaringan Otak dalam Perut

12 September 2018   13:48 Diperbarui: 21 September 2018   10:45 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi : Pixabay)

Kisah ini sudah berlalu sekitar 32 tahun yang silam. Tetapi hingga hari ini saya masih mengingatnya dengan jelas. Sebuah kisah tentang jaringan otak dalam perut, dan jika mengingatnya, saya merasa lucu tapi sedikit salut dengan diri saya sendiri yang mempunyai pemikiran yang agak cemerlang, hehehe...

Ketika itu hari libur dan hujan turun dari pagi. Saya yang waktu itu masih kelas 2 SD, tak pergi kesekolah. Ayah yang bekerja sebagai petani juga tak pergi ke hutan untuk manugi (menggores) pokok kemenyan. Demikian juga dengan ibu yang harusnya ke sawah mangombak balik (nyangkul), terpaksa mengurungkan niatnya akibat hujan yang tak kunjung berhenti.

Kami berlima; saya, ayah, ibu, abang dan adik berkumpul diruang tengah menunggu hujan reda. Kami masing-masing duduk bersila dan ada yang meluruskan kaki, bercakap-cakap ringan sambil sekali-sekali bersenda gurau. Hal seperti itu sungguh merupakan pengalaman manis yang tak terlupakan dan takkan bisa diulangi seumur hidup.

Kami bercerita kesana-kemari tentang apa saja dengan menggunakan bahasa Batak yang kental. Kami tidak terlalu banyak mengerti bahasa Indonesia, apalagi istilah yang susah-susah? Sehari-hari di rumah dan disekolah kami menggunakan bahasa Batak. Kami mengerti bahasa Indonesia tetapi untuk mengucapkannya terasa berat dan sangat janggal janggal bagi kami.

Maklumlah, waktu itu kampung kami masih terisolir. Belum ada transportasi kendaraan roda dua untuk keluar-masuk ke daerah lain, tidak ada listrik dan tidak ada televisi. Untuk mengetahui informasi dari "dunia luar", kami hanya mengandalkan radio short wave. Itupun kalau cuaca buruk, sering mengalami gangguan dengan suara yang aneh-aneh. Kadang-kadang kedengaran seperti suara setan. Seram, hehehe....

Sambil menoleh ke arah saya, ayah berkata: "kamu harus kuat makan sayur, itu bagus untuk jaring-jaring otak", kata ayah mengingatkan. Tentu saja  dalam bahasa Batak. Saya memang paling malas makan sayur, apalagi daun ubi tumbuk, saya enggan memakannya dan selalu selalu menyebutnya "rumput kuda". 

Ayah dan ibu selalu memaksa saya makan sayur dengan menaruhnya ke piring saya tetapi saya selalu menyisihkan dan menyisakannya di piring hingga selesai makan. Rasanya tangan saya sangat berat untuk menyuapkan sayur itu ke mulut saya. Seperti makan obat, rasanya pahit.

"Tahu kamu dimana jaring-jaring otak?", tanya ayah. Oh, kalau yang itu pernah saya dengar, pikirku. "Tahu", jawabku singkat. "Dimana?", tanya ayah melanjutkan. "Di perutlah", jawabku lagi-lagi dengan singkat. Mendengar jawaban saya, ayah dan ibu tertawa terbahak-bahak. Abang dan adik juga ikut-ikutan tertawa seakan-akan mereka tahu letak jaring-jaring otak yang ayah maksud. Padahal mereka juga pasti tidak tahu.

"Itulah kamu malas makan sayur, jadi bodoh, kan? Masa jaring-jaring otak di perut?", kata ayah masih tertawa. "Kenapa kamu sebut jaringan otak itu di perut, darimana kamu tahu?, kata ayah penasaran ingin mendengar alasan saya.

"Begini", kata saya ingin meyakinkan ayah bahwa saya benar. "Ayah kan sering mangalapa pinahan (memotong hewan ternak lalu membelah perutnya untuk dibersihkan)", kataku. "Terus", kata ayah makin penasaran.

"Terus setelah ayah membelah kepala pinahan itu lalu mengeluarkan otaknya, ayah taroh dimana otaknya tersebut", saya balik bertanya. "Ya di jaring-jaring pembungkus otak", kata ayah mengikuti jalan pikiran saya. "Dari sebelah mana ayah dapatkan jaring-jaring otak itu?", kata saya melanjutkan. "Ya, dari dalam perut di dekat hatinya", kata ayah. "Itulah jaring-jaring otak", kataku merasa benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun