Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Prinsip Hidup dalam Perspektif Filsafat

12 Januari 2018   01:29 Diperbarui: 12 Januari 2018   01:32 2458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber photo : beritamiyon9.blospot.com

(Ya TUHAN, jadikanlah manusia berprinsip itu umatmu yang utama -- Thomas Jeferson)

[Tulisan ini, saya persembahkan untuk mereka yang mencintai kebijaksanaan dan kearifan -- philosophia]

Di usiaku yang sudah genap 40 tahun pada 24 November 2017 lalu, saya sering gelisah dan risau. Ada pertanyaan yang selalu berkecamuk di dalam hati: sebelum tidur di tengah malam, ketika bangun di pagi hari bahkan terkadang terbawa dalam mimpi:

"Sampai kapan saya dapat menjadi seorang laki-laki yang berprinsip? Kapan saya mejadi laki-laki yang berkarakter dan berintegritas?"

Saya merasa begitu labil, mudah berubah-ubah, terombang-ambing, mudah goyah dan kemudian jatuh. Begitu cepat termakan isu, bujuk rayu, terpancing emosi, tidak arif dan jauh dari bijaksana.

Terkadang bersemangat berapi-api tetapi lebih sering melow dan minder bahkan sering merasa hampa, tak berarti apa-apa, terhempas dan putus asa.

Saya ingin berguna tetapi tak kunjung berguna. Saya ingin berarti tetapi tak jadi berarti. Saya ingin berdampak tetapi tak juga berdampak. Seperti kata Jackie Robinson:

"Suatu kehidupan tidaklah berarti kecuali berdampak terhadap kehidupan yang lain" (Jhon C Maxwell:2003, The Right to Lead, halaman 51).

Dan saya merasakan hal itu dalam diri saya. Saya di titik nol dan saya berada di ruang hampa.

Untuk menemukan benang merah dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya mencoba berfilsafat.

Filsafat (Yunani : Philosophia yang berarti mencintai kebijaksanaan dan kearifan) merupakan pemikiran yang mendalam terhadap sesuatu, yaitu pemikiran yang berkaitan dengan eksistensi, nilai-nilai, pengetahuan, alasan-alasan, pemikiran-pemikiran bahkan bahasa (Gie, 1999).

Ada tiga pertanyaan mendasar yang menjadi ciri-ciri dari keilmuan ini. Yang pertama adalah pertanyaan yang berkaitan dengan ontologi atau eksistensi ilmu: "Mengapa aku ada, darimana aku ada (berasal), oleh siapa dan untuk apa?"

Yang kedua pertanyaan yang berkaitan dengan epistemologis atau teori pengetahuan: "Teori atau disiplin ilmu apa yang saya yakini dan saya pilih dapat mejawab pertanyaan yang berkaitan dengan ontologi, apakah theologi melalui telaah-telaah yang didasarkan pada wahyu Ilahi atau teori keilmuan yang bersifat empiris semata dan mengabaikan eksistensi Tuhan (atheis)?"

Dan yang terakhir adalah pertanyaan oxiologi atau teori tentang nilai. Ketika saya memilih theologi pada jawaban pertanyaan epistemologis, maka: "Apa nilai-nilai, keistimewaan, potensi atau talenta yang ada didalam diri saya? Apa tujuan saya ada (hidup), apa tugas dan tanggung jawab saya kepada yang mengadakan saya (pencipta), sampai kapan saya ada (hidup) dan kapan saya kembali (meninggalkan dunia fana) kepada yang mengadakan saya (Tuhan) dan ketika saya bertemu dengan Tuhan hal apa yang saya dapatkan, apakah upah yang baik (kehidupan kekal) atau yang buruk (kematian kekal) sesuai dengan apa yang saya kerjakan di bumi menurut keyakinan yang saya peluk.

Sebagai jawaban awal saya temukan: saya berasal dari Tuhan yang diciptakan dari debu tanah dan suatu saat jasad saya kembali ke tanah tetapi roh saya kembali ke Tuhan untuk "diadili" menurut kitab kehidupan, apakah selama berada di bumi memberi dampak yang baik ata buruk.

Dan saya menemukan diri saya dalam sebuah "kengerian", dalam lembah yang jauh dari keintiman dengan Tuhan. Ingin berguna dengan cara sendiri, ingin berarti dengan pemikiran sendiri, berjalan sendiri tanpa Tuhan, mengandalkan diri sendiri seakan-akan Tuhan tidak pernah ada dalam hidup saya.

Dan hingga saat ini dan entah sampai kapan, saya terus bertanya dan bertanya dan berusaha menemukan jawaban.

Di bagian akhir dari tulisan ini, sambil terus berfilsafat, melalui pemikiran yang mendalam bertanya dan berusaha menemukan jawaban, saya ingin mengajak Anda merenung sambil menyanyikan sebuah lagu yang ditulis oleh : Pdt. Dr. Erastus Sabdono berikut ini:

Ada tanya dalam gelisah di hati

Untuk apa aku ada di bumi ini

Bag uap sekejap, bunga rumput pagi

Yang akan layu di sore hari

Malam gelap, padang gersang dan tandusnya

Cerita tragis kehidupan manusia

Dan satu-persatu mereka yang dicinta

Berpulang tak kembali lagi

Tuhan hantarlah langkahku

Sebelum usai hariku

'tuk memahami rencanaMu

Di dalam taman hidupku

Tuhan celikkan bathinku

Untuk mengerti hatiMu

Agar kutunaikan semua

Yang Bapa ingini.

Ingat: pemikiran yang berkaitan dengan eksistensi, nilai-nilai, pengetahuan, alasan-alasan, pemikiran-pemikiran bahkan bahasa, itulahphilsafat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun