Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Teka-teki 350 Hektar Lahan Agus

8 Februari 2017   18:13 Diperbarui: 8 Februari 2017   18:33 2813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan pemukiman kumuh di pinggir Kali Ciliwung di kawasan bukit duri sebelum penataan. Sumber: megapolitan.kompas.com

Gusur. Geser. Apung.

Tiga kata ini menjadi kata kunci yang melekat pada diri Agus-Silvy. Kata-kata ini terkait dengan penataan kota dalam kampanye Pilkada DKI Jakarta tahun ini. Tiga kata ini juga sekaligus merupakan cara menyerang Ahok yang digambarkan sebagai sosok yang tidak punya hati. Tiga kata itu adalah sebuah konsep.

Tidak punya hati karena melakukan penggusuran masyarakat di pinggir kali dan memindahkan mereka ke rumah susun sewa. Proses ini dituduh telah mengakibatkan banyak rakyat protes dan tidak menikmati manfaat dari pemindahan ke rusun itu. Sebagian masyarakat mengatakan lebih enak tinggal di lingkungan lama karena sudah kenal. Sebagian lagi mengatakan warga yang dipindahkan ke rusun tidak mendapatkan penghidupan yang layak. Masyarakat lainnya, katanya, akses ke tempat keramaian menjadi terbatas. Ke pasar juga susah. Mana harus membayar listrik juga. Bisa jadi karena dulu selalu ‘mendapatkan’ dengan gratis.

Pokoknya, banyak keluhan warga yang ditemui diklaim sebagai hasil dari gerilya lapangan selama kampanye dengan cara blusukan. Semua masukan masyarakat ini ditampung dengan baik dan dijadikan mesiu untuk menyerang Ahok.

Sementara Ahok menyatakan bahwa langkah terbaik penataan sungai untuk mengatasi banjir adalah melakukan relokasi dengan memindahkan masyarakat pinggir kali ke rusun. Rusun yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan diberikan pula berbagai kemudahan termasuk berbagai kartu dan transportasi gratis. Kesehatannya diperhatikan. Anak-anak diberi akses ke pendidikan. Ibu-ibu dilatih untuk menambah pengetahuan dan kemampuan meningkatkan ekonomi.

Tetapi di mata Agus-Silvy, tetap saja menggusur masyarakat di pinggir kali itu sesuatu yang tidak benar. Pemimpin seharusnya tidak ditakuti. Pemimpin seharusnya memberikan solusi, bukan malah menambah masalah. Berulangkali Agus mempertegas kesalahan yang dilakukan Ahok. Yang dilakukan Ahok adalah menggusur dengan membabi buta. Bukan relokasi. Ini salah.

Dengan demikian Agus menawarkan suatu langkah terkait program penataan kota ini. Untuk bangunan-bangunan di pinggir kali, yang mengakibatkan banjir, maka akan digeser saja. Tidak akan dilakukan penggusuran sebab itu tidak manusiawi. Penggusuran atau dalam bahasa Ahok relokasi, menurut Agus tidaklah tepat. Masyarakat harus dihargai pendapatnya dan didengar usulan mereka.

Tetapi konsep ini belum juga benderang. Meskipun Agus telah dengan telak meledek Djarot yang katanya tidak paham menggeser ini. Djarot pasti paham kata menggeser itu. Tetapi itu tidak masuk akal. Tidak masuk akal menurut cara-cara Ahok tentunya.

Menggeser rumah-rumah penduduk tentunya tidak sekedar menggeeser satu atau dua meter bangunan di pinggir kali. Menggeser satu atau dua rumah, pastinya akan mengakibatkan bangunan lainnya di belakangnya ikut bergeser. Lalu barisan berikutnya juga akan digeser. Lalu barisan selanjutnya dan seterusnya.

Jika itu tidak dilakukan, maka yang terjadi adalah menutup gang diantara rumah-rumah tersebut. Menutup gang berarti menutup akses ke lingkungan tersebut. Lingkungan dekat kali akan lebih pengap dan tidak ada akses keluar masuk. Jika terjadi kebakaran, warga akan sangat sulit untuk mengakses fasilitas pemadaman kebakaran.

Tidak jelas juga, bagaimana proses menggeser ini akan dilakukan. Membongkar pasang bangunan yang ada tentunya memakan waktu dan biaya yang besar. Membongkar bangunan lalu menggunakan bahan-bahan bekas, pastinya tidak mungkin. Rumah-rumah di pinggir kali itu terbuat dari bahan-bahan yang sangat tidak layak. Rumah-rumah itu hanya terbentuk dari tripleks tipis, lapisan seng dan kadang hanya terpal dan kayu-kayu yang sudah lapuk. Mungkin dalam proses membongkarnya pun, bahan-bahan itu juga akan rusak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun