Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diceburkan dan Kemudian Keajaiban Menjadi

13 Juli 2020   17:24 Diperbarui: 13 Juli 2020   17:20 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba empat orang temanku menarikku dan menceburkan ke kolam renang di kedalaman hampir 2 meter itu. Aku tidak bisa berenang. Mereka tertawa-tawa. Memang tidak jauh dari pinggir kolam. Aku berusaha menggapai-gapai. Suara tawa teman masih terdengar meski sayup. Aku berusaha untuk mencapai pegangan yang ada di pinggir kolam. 

Aku berhasil. Aku masih kecut dan marah. Temanku tetap tertawa. Kejadian di tahun 1986 itu masih lekat dibenakku. Kejadian yang tidak menyenangkan dan menimbulkan kengerian cenderung tinggal lebih lama dalam ingatan. Menyusup pelan ke bawah sadar, dan bisa muncul kapan saja.

Mungkin itu pengalaman 'horror' bagiku. Bagi orang lain juga, sama halnya, jika mengalami hal serupa. Tetapi selanjutnya, yang terjadi kemudian adalah keajaiban. Aku mulai berani berenang di pinggir kolam, mungkin sekitar 1 meter dari tepi. Berulangkali demikian. Aku semakin menikmati. Kolam renang menjadi tempat yang menyenangkan, hingga akhirnya aku bisa berenang di kolam dalam. Bahkan kolam 4 meter sekalipun, aku tidak takut lagi. Di laut pun, sudah tidak khawatir lagi. Karena air tidak lagi semenakutkan sebelum bisa berenang.

Aku ingin bertanya. Apakah kalian pernah mengalami hal yang sama? Bisa jadi banyak teman-teman yang mengalaminya. Kita diceburkan ke kolam. Kita diceburkan ke dalam suatu situasi yang sebelumnya menakutkan. Kita diceburkan pada suatu keadaan yang kita tidak memiliki keahlian untuk menghadapinya.

Hal yang kita miliki hanya keinginan untuk bertahan atau survival skill. Keahlian paling dasar dari seorang manusia. Kita pikir kita tidak bisa. Kita pikir kita akan gagal. Masih banyak lagi pikiran-pikiran terkait kemungkinan buruk yang dialami jika melakukannya. Tetapi, faktanya tidak. Kita berhasil melewatinya.

Kejadian serupa ternyata berulang. Tidak dalam konteks yang sama. Di sekitar 2008, saya diceburkan lagi. Saya harus menghadiri konferensi internasional dan berbicara, mewakili pimpinan saya yang berhalangan, di Kinabalu, Malaysia. Saya tidak siap. Saya cemas. Saya tidak bisa tidur berhari-hari. Banyak hal negatif yang membayangi benak.

Perjalanan ke luar negeri yang seharusnya menyenangkan menjadi seperti siksaan. Lalu, pada hari presentasi, saya berbicara dan hanya menatap layar laptop. Selama paparan, saya hanya membaca dan tidak sadar akan hal yang saya baca. Saya tidak bisa mendengar suara saya. Saya tidak berani melihat orang lain. 

Saya benar-benar terhisap ke dalam lautan kecemasan dan ketegangan yang tidak terperi. Tetapi, selanjutnya, keajaiban terjadi. Saya lebih percaya diri berbicara di publik dan di banyak kesempatan. Berdebat di meeting, menyampaikan pendapat dan hal-hal terkait komunikasi publik menjadi lebih ringan.

Di usia yang telah melewati 45 ini, ternyata proses diceburkan ini belum usai. Hal yang relatif sama terjadi lagi Sabtu, 11 Juli 2020. Kesiapan bicara di publik ditantang lagi. Saya harus menjadi narasumber di sebuah TV nasional,  Metro TV. Hanya 10 menit bicaranya, jarak jauh pula. Tidak di studio stasiun televisi itu.  Tanpa persiapan yang memadai. Masih menggantikan pimpinan yang berhalangan.

Saya dapat informasi jam 06.00 dan interview live-nya jam 09.00. Masih terkantuk dengan tidur yang kurang, ditambah lagi kondisi terlambat bangun untuk persiapan anak saya yang akan ikut temannya bersepeda ke Sentul, rencananya jam 06.00 pagi itu.  

Dua hal saya kerjakan sekaligus. Sarapan terlupakan. Kopi pun hanya disiapkan tergesa. Bisa jadi ini juga adalah bagian dari God's way. Saya tidak akan baca pesan di telepon saya tentang interview ini, jika tidak menghubungi teman anak saya itu soal keterlambatan. Selain itu, di masa kerja dari rumah dan akhir pekan pula, saya biasa bangun sekitar jam 08.00 dan kadang lebih.

Lalu, wawancara terjadi. Reaksinya masih sama, meskipun tidak segugup pada tahun 2008 itu. Saya menyampaikan materi dengan pace yang cukup, tetapi dengan pikiran yang agak 'tegang'. Tegang, bukan karena cemas. Tetapi banyak hal yang ingin disampaikan dalam waktu yang begitu sempit. Kemudian, apakah keajaiban akan terjadi? Saya yakin sekali, itu akan terjadi. Setidaknya, jika ada wawancara berikut, saya akan lebih 'ringan' menghadapinya. Materi yang sudah di kepala, akan melaju lancar di penjabaran.

Dalam kehidupan kita, situasi 'diceburkan' ini memang pasti akan terjadi. Saya dalam banyak hal men-setting mental saya pada mode siap 'diceburkan'. Jika pimpinan saya meminta saya melakukan sesuatu, jawaban saya selalu, "Siap, Pak". Jawaban seperti itu sangat mungkin dari hasil dicerburkan berulangkali. Jika hal yang demikian terjadi padamu, embrace it!

Jika kemudian hal itu berkelindan dengan pekerjaan saya sekarang di bidang kemanusiaan dan kebencanaan, mentalitas saya sudah terlatih baik menghadapi situasi yang tidak pasti dan penuh tantangan. Diceburkan bukannya membunuhmu, tetapi malah membuatku lebih kuat. Keajaiban itu nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun