Yang paling menyedihkan adalah bahwa 42% dari total kasus kekerasan tersebut merupakan kekerasan seksual, menjadikannya bentuk kekerasan tertinggi di sekolah, disusul oleh perundungan (31%), kekerasan psikis (11%), kekerasan fisik (10%), dan diskriminasi kebijakan (6%). Fakta ini sangat memprihatinkan, mengingat sebagian besar korbannya adalah anak-anak yang seharusnya dilindungi di usia pertumbuhan mereka.
Masih banyak pihak yang menganggap pendidikan seksual sebagai hal tabu, padahal justru dengan edukasi yang benar anak-anak dapat memahami batasan pergaulan dan pentingnya menghargai tubuh sendiri dan orang lain. Pendidikan seksual bukanlah pornografi. Sebaliknya, inilah bekal penting agar remaja memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap tindakan mereka, terlebih di era digital yang dipenuhi konten tak layak konsumsi anak-anak.
Menghadapi situasi seperti ini, apalagi saya sebagai guru merasa sangat prihatin dan kuatir. Kemunculan kasus-kasus itu menjadi sangat krusial apalagi isu terkait kekerasan seksual terhadap anak yang marak terjadi. Bukan hanya di lingkungan masyarakat secara umum, kekerasan seksual terhadap anak juga kerap terjadi di lingkungan pendidikan bahkan lingkungan pendidikan berbasis agama.
Seharusnya lingkungan pendidikan sebagai miniatur rekayasa sosial masyarakat mestinya bisa menjadi entitas yang membentuk manusia unggul dan beradab. Menjadi sangat mengkhawatirkan jika tindakan kekerasan seksual marak di lingkungan pendidikan kita.
Sekolah tidak bisa hanya menjadi tempat transfer ilmu, melainkan harus menjadi tempat yang aman, ramah, dan inklusif bagi seluruh siswa. Di sinilah pentingnya menciptakan “sekolah ramah semua”, bukan hanya “sekolah ramah anak.” Ini berarti menciptakan budaya sekolah yang mencegah kekerasan, mendeteksi gejala awal penyimpangan perilaku, dan membangun sistem pendampingan yang kuat.
Kekerasan di sekolah bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi juga orang tua, pemerintah, media, dan masyarakat luas. Memutus mata rantai kekerasan dan intoleransi memerlukan komitmen kolektif dan pendekatan komprehensif.
Jangan tunggu sampai tragedi besar terjadi. Saat anak-anak tidak lagi merasa aman di sekolah, kita semua harus bertanya, apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Sudah saatnya sekolah menjadi rumah kedua yang benar-benar aman—bukan hanya dalam slogan, tetapi juga dalam realita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI