"Apa to yang ibu takutkan kalau Indonesia resesi?" tanya suaminya. sambil menikmati makanan dari kak Mala
"Aku takut, tidak ada tukang sayur dan tukang tahu yang lewat," jawab Qila dengan sederhana. "Nanti aku masak apa, kita cuma punya tanaman  cabe, belimbing wuluh dan daun kelor yang bisa dimakan."
"Sedia garam aja bu," kata Bidin, "Kalau terpaksa sebagai istriku harus siap makan nasi dan garam saja ya bu."
"Siap pak, kemarin aku sudah belanja garam 5 bungkus dari mang Diding."
Mang Diding adalah tukang sayur yang biasa berjualan di komplek. Qila sangat bersahabat dengan mang Diding. Setiap hari Qila mengirim mengirim daftar belanjaan melalui whatsap (WA).Â
Kalau setengah kilogram (kg) ayam, sayur dan tempe harganya tidak lebih dari Rp 50.000#. Kalau 1 kg ikan emas, sayur dan tempe, harganya tidak lebih dari Rp 75.000. Kadang-kadang bumbu habis, Qila menyediakan Rp 100.000# di tempat khusus menyimpan uang belanja.Â
Tak pernah ada tawar-menawar, sehingga kalau Bidin yang menerima belanjaan langsung bayar sesuai harga yang disebutkan oleh mang Diding. Dan uang yang disiapkan Qila tak pernah salah.
Kalau ada kembalian langsung harus disimpan dalam tempat khusus yang sudah disiapkan oleh Qila juga. "Tempat mengurung virus covid-19," menurut istilah Qila sehari-hari.
Begitu juga persahabatan dengan mang Aben, tukang tahu yang menjadi langganan hampir semua warga komplek. Sebungkus tahu putih harganya Rp 10.000#, isi 8 keping tahu.Â
Sebungkus tahu kuning harganya juga Rp 10.000, tapi isi 10 keping tahu. Tempe bungkus daun harganya Rp 5000#, sedangkan tempe bungkus plastik harganya Rp 3000#. Â
"Apa sih pak, dampak resesi bagi kita?" tanya Qila tiba-tiba