Kala malam menguasai bumi, mata indah itu terus menatap langit. Matanya bertahan di sana, mencoba menghitung banyaknya benda langit yang berkedip genit. Va masih dengan senyumnya memandangi bintang-bintang itu.
Her semakin yakin pada matanya yang menangkap pesona indah milik Va malam ini. Ciptaan Tuhan yang sempurna. Tak ada cacat mampu dilukiskan walau hanya setitik noktah. Barangkali dia hanya kagum pada sebuah raga yang kebetulan sangat sempurna ini hingga dia sedikit berlebihan memuji perempuan di hadapannya.
"Secantik apa dia sampai-sampai kau gila macam ini, Her?" tanya Tohap menanggapi setiap cerita Her.
Pemuda bermarga Pulungan itu sudah sebulan ini banyak bercerita tentang perempuan bernama Vania. Semakin hari makin tak waras tingkahnya. Melamun dan menatap layar ponselnya itu.
"Kalau kau tahu, aku yakin kau pun mau jadi pacarnya," sanggah Her.
"Ah, dari mana pula aku bisa langsung mau jadi pacarnya?" kilahnya.
Mereka tertawa.
"Kau dilahirkan dengan cap playboy di kening kau! Tak payah kau membantah lagi!" serang Her.
"Pantang kau!" hardik Tohap.
Mereka tertawa lagi. Kali ini lebih keras hingga menggema menyebar ke seluruh ruangan. Kegembiraan mereka spontan lenyap saat mereka mendengar langkah kaki dalam balutan sepatu dengan heels 7 cm yang sering dipakainya.
"Apa yang kalian obrolkan? Kalian punya arloji, 'kan? Kembali ke meja kalian!" titahnya di dekat meja Her dan Tohap.