Mangata
Aku dan kamu berada di tepi pantai berdua. Menantang embusan angin malam hanya sekadar menanti Arunika. Kamu memang pengagum Astronomi. Benda-benda antariksa itu bahkan lebih penting dari hubungan kita yang tahun ini berumur lima tahun. Kamu pasti setuju, lima tahun bukan waktu yang sebentar.
Kamu ingat, saat aku mulai jengah dengan pertanyaan ibumu. Yang kerap bertanya tentang kesiapanku. Lebih tepatnya kesiapanmu. Kamu selalu mengulur waktu setiap aku menanyakan hubungan kita.
"Sampai kapan kita begini, Bang?"
Kamu menarik napas. Lalu menunduk sebentar. Beberapa saat kamu terdiam mendongakkan kepalamu, dan menatap sinar bulan di atas lautan.
"Lihat sinar itu, Ra." Kamu menunjuk dengan dagumu. Aku mengikuti ke arah lautan yang tenang di bawah sinar bulan.
Siraman sinar bulan yang bulat sempurna malam ini, cahayanya menyinari lautan. Memantulkan kembali seberkas sinar putih. Cahayanya membentuk jalan di atas air. Itulah Mangata.
"Walaupun jalan kita tidak mudah, yakinlah ada sinar terang yang akan menuntun langkah kita. Ibaratkan saja jalan kita seperti air yang menyimpan gejolak. Tapi saat sinar bulan membentuk Mangata, wujudnya seperti jalan. Indah."
Ah, kamu selalu saja punya kiasan menggambarkan apa saja yang terjadi. Mangata mungkin  bisa melukiskan gurat sendu hubungan kita. Tapi, kamu tidak pernah bisa menggambarkan hatiku saat ini.Â
"Kamu tidak pernah merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan." Aku beranjak berdiri.
"Karena jawaban semua tanya, ada padamu." Â