Mohon tunggu...
Rinda Sandini
Rinda Sandini Mohon Tunggu... -

mom of two lovely kids | lifelong learner | good employee

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Setahun Asap Padam, Perusahaan Pembakar Hutan Tetap Melenggang

1 November 2016   18:38 Diperbarui: 1 November 2016   18:48 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bocah SD di Sei Ahass, Kapuas kala terpapar bencana asap 2015 lalu (foto: Ardiles Rante)

Dalam beberapa hari terakhir ini, hujan tampak mulai kerap menyapa kita. Selain hiruk-pikuk Pemilukada di berbagai tempat, berita seputar banjir di Bandung beberapa waktu lalu telah mencuri perhatian publik. Dalam skala pemberitaan yang lebih kecil, terjadi pula bencana tanah longsor di Sukabumi, Toraja dan Jambi.

Tahun 2016 ini, negeri kita memang dilanda fenomena La Nina yang mengakibatkan kemarau basah berkepanjangan. Sejumlah dampak buruknya telah terjadi di berbagai penjuru wilayah tersebut di atas.

Hal ini sangat kontras dengan tahun 2015 yang dirundung El Nino, fenomena yang mengakibatkan kemarau panjang dan kering. Tepat setahun lalu, ketika hujan mulai rutin mengguyur sejumlah wilayah di Indonesia, padam pula bencana asap yang selama beberapa pekan menjadi tajuk utama berita.

Bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada Juni-Oktober 2015 lalu merupakan salah satu bencana dengan skala paling destruktif yang pernah dialami Indonesia, setidaknya sejak peristiwa Tsunami Aceh 2004 lalu. Karhutla 2015 hanya ‘kalah’ dalam hal jumlah korban jiwa Tsunami Aceh. Selebihnya, skala dampak karhutla 2015 lebih dramatis.

Kerugian yang ditimbulkan atas bencana karhutla 2015 lalu sangat dahsyat. Menurut BNPB, tercatat 10 orang tewas, lebih dari 500 ribu jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), 43 juta jiwa terpapar asap dan sebanyak 2,61 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Luas wilayah lahan yang hangus terbakar ini sangat fantastis, setara dengan 4,5x luas pulau Bali, atau nyaris 40x luas Jakarta.

Secara ekonomi, total kerugian yang diderita sebesar 221 trilyun, ini setara dengan 1,9% PDB nasional, atau sekitar 2x biaya rekonstruksi bencana Tsunami Aceh 2004. Bahkan beberapa provinsi seperti Jambi, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah mengalami kontraksi dalam pendapatan daerahnya.

Dampak Ekonomi Karhutla 2015 (sumber: katadata.co.id)
Dampak Ekonomi Karhutla 2015 (sumber: katadata.co.id)
Hutan Rusak, Wong Cilik Jadi Korban

Hutan adalah paru-paru bumi, tak ada yang berani membantah adagium tersebut. Apabila hutan rusak, ibarat paru-paru dalam tubuh manusia yang mengalami disfungsi sehingga berdampak pada timbulnya penyakit, sifatnya bisa akut atau kronis.

Analogi serupa terjadi pada hutan di Indonesia. Ketika terjadi kerusakan hutan karena ulah manusia, maka ekosistem lingkungan sekitarnya turut terganggu pula. Akibatnya, timbul bencana banjir, tanah longsor, hingga buruknya kualitas udara akibat pelepasan karbondioksida.

Sudah jamak kita ketahui, eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis bidang kehutanan, perkebunan, serta pertambangan menyumbang kerusakan yang masif. Bagaimana tidak, jutaan hektar lahan hutan dijadikan sebagai sumber bisnis skala raksasa yang berorientasi pada profit semata.

Kerusakan hutan di Indonesia merupakan output utama dalam pengelolaan hutan yang sembrono, yaitu ketika pengelolaan hutan sebagai sumberdaya tidak dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, terjadi pula konflik antara perusahaan pemilik konsesi hutan dengan masyarakat atas pengelolaan lahan.

Padahal, begitu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan, mulai dari mencari kayu, berburu, berladang, berkebun, hingga berternak. Di sinilah, potensi konflik berakar. Konflik kepentingan antara masyarakat dengan perusahaan ini menimbulkan kecemburuan sosial warga dengan perusahaan, karena merasa mata pencahariannya ‘dicaplok’ korporasi.

Ironisnya kasus yang dimejahijaukan terkait karhutla kebanyakan melibatkan pelaku ‘wong cilik’. Sejauh ini dari 15 perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan dan lahan 2015 lalu, belum ada satu pun yang diseret ke meja pengadilan.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti KontraS, JIKALAHARI, ICEL dan ICW mengkritisi putusan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk 15 perusahaan tersebut. Hingga Oktober tahun ini, kabar pemidanaan korporasi masih menggantung dan pemberian SP3 oleh aparat penegak hukum masih belum dapat dipertanggungjawabkan secara logis-argumentatif.

Kapolri turun tangan langsung dalam proses SP3 terhadap 15 perusahaan yang diduga terlibat karhutla (sumber: detik.com)
Kapolri turun tangan langsung dalam proses SP3 terhadap 15 perusahaan yang diduga terlibat karhutla (sumber: detik.com)
Sementara korporasi besar lolos dari jeratan hukum, masyarakat kecil dengan mudah menjadi kambing hitamnya. Pada Maret 2016, Polda Riau beserta jajarannya telah menangkap 41 tersangka perorangan pembakar hutan dan lahan, sebagaimana dikutip dari okezone.com.

Ini sungguh menyedihkan, karena ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Bukan hanya masalah ketidakpastian hukum saja, masyarakat kecil pun menjadi korban dengan hilangnya sumber penghidupan mereka, ditambah dengan ‘bonus’ terpapar langsung kabut asap yang jelas merugikan kesehatan. Benar-benar sebuah penderitaan ‘paket combo’.

Kegagalan Korporasi dalam Pengelolaan Sumber Daya

Munculnya lapis demi lapis masalah ini menjadi bukti bahwa perusahaan skala besar pemilik konsesi belum dapat menjalankan pembangunan berkelanjutan dalam mengelola sumber daya hasil hutan yang telah dipercayakan kepada mereka. Bisnis yang dimaksud tersebut termasuk di dalamnya industri kelapa sawit, karet, pulp dan kertas, hingga pertambangan seperti timah, emas, batu bara, dan mineral lainnya.

Demo menuntut pencabutan SP3 kepada korporasi terduga pembakar hutan di Riau (sumber: riaugreen.net)
Demo menuntut pencabutan SP3 kepada korporasi terduga pembakar hutan di Riau (sumber: riaugreen.net)
Francis Wahono dalam bukunya bertajuk Ekonomi Hijau menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan dipahami sebagai suatu rangkaian pembangunan meliputi dukungannya terhadap lingkungan hidup. Di dalamnya terdapat upaya untuk memelihara keanekaragaman hayati, konservasi hutan alam, serta mengurangi emisi gas rumah kaca. Di sisi lain, ini juga menyangkut pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan penegakan keadilan sebagai indikator keberhasilan pada umumnya.

Korporasi hutan selain berkonflik dengan lingkungan, juga senantiasa memiliki isu permasalahan yang pelik dengan masyarakat setempat. Ini akibat interaksi yang dinamis antara perusahaan dengan lahan di wilayah konsesinya yang kerap kali bersinggungan pula dengan interaksi masyarakat sekitar dengan lahan tersebut.

Di celah inilah, warga atau masyarakat lokal sering menjadi sasaran empuk sebagai pihak yang dipersalahkan dalam berbagai peristiwa terkait kerusakan hutan, seperti pembalakan liar, atau kebakaran hutan dan lahan tadi.

Kunci Permasalahan: Pemberdayaan Masyarakat

Akar permasalahannya adalah ketidakberdayaan masyarakat untuk menghidupi dirinya secara mandiri. Sayangnya, perusahaan umumnya berpola pikir naif cenderung pragmatis, dengan berharap bahwa warga sekitar hutan memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga hutannya dengan tidak melakukan perambahan hutan.

Masyarakat Adat, menggantungkan hidupnya kepada hasil hutan (sumber: reddplusid.org)
Masyarakat Adat, menggantungkan hidupnya kepada hasil hutan (sumber: reddplusid.org)
Padahal, masyarakat sekitar hutan haruslah mampu untuk berdaya secara sosial dan ekonomi terlebih dahulu. Jika ini sudah terpenuhi, kita baru bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap hutan dan lingkungan sekitarnya.

Telah banyak LSM yang melakukan advokasi untuk mempertahankan hak-hak masyarakat atas tanah mereka. Namun tetap saja perusahaan yang mengantongi izin konsesi mempunyai tanggung jawab lebih terhadap ekosistem hutan, termasuk masyarakat sekitar yang ditopangnya. Mereka adalah masyarakat yang hidup dan bekerja di lahan mereka secara turun temurun selama beberapa generasi, dan sekarang terancam kehilangan hutan yang telah ‘disulap’ menjadi wilayah konsesi.

Perusahaan beserta para pemangku kepentingan lainnya seperti pemda setempat harus mulai memikirkan bagaimana merangkul masyarakat yang mendiami wilayah sekitar hutan. Perhatian ekstra harus disematkan kepada warga. Hendaknya, potensi sumber daya manusia dan alam desa di sekitar wilayah konsesi perusahaan harus diarahkan dan dibina. Paradigmanya harus diubah, bukan sekadar memikirkan keuntungan bisnis semata.

Kunci pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan adalah adalah dialog dan partisipasi aktif masyarakat setempat. Perusahaan beserta para stakeholder lain harus menjadikan warga sekitar hutan sebagai subyek aktif, bukan lagi obyek yang terpinggirkan.

Jika tidak, maka urusan bisnis tersebut akan berujung konflik yang bukan hanya merugikan lingkungan, melainkan juga kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Cukup sudah kebodohan yang kita lakukan selama beberapa puluh tahun terakhir. Jangan sampai terjadi lagi peristiwa pahit itu: hutan menjadi binasa, sedangkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan justru menjadi pihak tunggal yang menanggung deritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun