“Aku pergi dulu.”
Tak ada jawaban. Gadis kecil di depannya memindahkan sapu lidi ke tangan kirinya sebelum menyambut uluran tangan dari gadis yang lebih besar darinya itu. Tidak lama. Tangan kanannya meraih satu lidi kemudian kembali mengorekannya ke tanah. Tak terarah, karena pandangannya buram oleh air yang tak henti menetes dari kedua matanya. Gadis yang lebih besar berlalu. Di depan, ayahnya sudah menunggu dengan sepeda motor tuanya. Dia harus pergi, harus.
Suasana semakin hening. Tetesan air mata dari kedua gadis itu nyaris tak bersuara. Mungkin, jika ada yang bisa didengar itu adalah jeritan dari kedua hati gadis muda itu. Mungkin juga dari hati seorang ayah yang tercabik menyaksikan pemandangan di depannya. Mungkin. Selanjutnya yang terdengar adalah raungan sepeda motor tua yang mati-matian dihidupkan.
“Dia tidak pernah salah meletakkan sesuatu.”
Mungkin itu kalimat termudah yang bisa diucapkan ketika apa yang terjadi, dialami jauh dari apa yang diinginkan. Mungkin itu juga hanya barisan kata-kata yang cepat saja dirangkai agar tak ada yang menyalahkannya atas apa yang terjadi. Yang pasti selama bertahun-tahun, gadis kecil itu bisa kembali tenang, kembali bersemangat dalam harapan bahwa suatu saat semua akan kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang terpisah, tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi malam-malam penuh penantian karena rindu yang selalu memalu dadanya kala mata mulai dipejamkan. Rindunya pada seorang gadis remaja yang meskipun lama tak dilihatnya tapi masih jelas rupanya akan dituntaskan. Gadis kecil tersenyum, semua pasti berlalu, harapnya.
“Nanti Emak aku belikan kalung,” katanya penuh senyum.
Perempuan yang dipanggilnya emak itu membalasnya dengan senyum.
“Nanti kita beli sama-sama, ke pasar.”
Lagi-lagi perempuan setengah baya yang berbaring di depan si gadis kecil tersenyum.
“Iya, yang bagus ya, yang besar.”
“He eh,” angguknya mantap.