Tampaknya makin kesini, manusia pejuang kebenaran sudah makin menipis. Yang buruk ditampakkan indah dengan aksesoris pelicin sebagai pendukung. Sementara yang benar dan baik, yang tak menggunakan aksesoris terlalu polos dan dianggap buruk.
Seorang sahabat bercerita bagaimana salah satu temannya yang jadi hakim sukses, anak-anaknya seolah terkena kutukan. Sekolahnya memang tinggi, namun berujung di penjara semua karena beragam kasus kriminal ketika sang ayah telah wafat. Bahkan salah seorang diantara mereka tewas di dalam penjara dibunuh oleh orang yang diputuskan bersalah oleh sang ayah. Sesuatu yang mungkin saja tak terpikirkan oleh ayah mereka dulu.
Ya, setiap profesi punya tantangan tersendiri. Punya konsekuensi yang tak mungkin bisa dielakkan. Apapun keputusan yang dibuat seorang hakim, seadil apa pun, akan ada yang merasa dirugikan. Dari situ bisa menciptakan dendam yang bisa jadi tak berkesudahan. Siapa yang mampu membaca isi hati manusia?
Tak akan pernah ada keadilan di dunia ini. Mengingat bahwa manusia mampu merekayasa apa saja. Yang benar disalahkan, yang salah dibela habis-habisan agar tampak benar. Begitu pun terdakwa, bisa memasang ribuan wajah yang mampu direkayasa untuk menciptakan opini, dari yang merasa kasihan, percaya dia tak bersalah dan lainnya.
Berat memang menjadi hakim. Ketika benar di dunia, tetap akan ada kemungkinan diumpat yang diputus bersalah. Saat salah memberi keputusan, keadilan akhirat menunggunya.