Sebuah Program yang Membanggakan, Sekaligus Menggelisahkan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Prabowo Subianto adalah salah satu janji politik yang paling ditunggu publik. Ia hadir sebagai jawaban atas masalah klasik Indonesia: tingginya angka stunting, lemahnya literasi gizi keluarga, dan keterbatasan daya beli orang tua dalam menyediakan makanan sehat bagi anak-anak mereka. Di atas kertas, MBG bukan sekadar makanan gratis, melainkan investasi besar untuk masa depan bangsa.
Namun dalam praktiknya, program ini segera menuai sorotan. Kasus keracunan massal yang melibatkan ribuan siswa di berbagai daerah, termasuk Riau, menjadi alarm bahwa implementasi MBG jauh dari sempurna. Publik bertanya-tanya: mengapa makanan yang seharusnya menyehatkan justru mencederai anak-anak? Mengapa program yang menelan anggaran triliunan rupiah tidak terkontrol ketat? Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong diskusi lebih luas tentang siapa yang sebaiknya menjadi pengelola dapur MBG di sekolah.
Selama ini, banyak dapur MBG dikelola oleh yayasan atau pihak ketiga. Pemerintah daerah melakukan kontrak layanan, lalu menyerahkan tanggung jawab penyediaan makanan kepada yayasan. Pola ini dianggap praktis secara birokratis, karena pemerintah cukup membayar sesuai output jumlah porsi yang dikirim. Namun, pola outsourcing semacam ini menyimpan kelemahan mendasar: kontrol sosial minim, transparansi terbatas, dan keterlibatan orang tua murid hampir nihil. Di sinilah gagasan radikal muncul; bagaimana jika dapur MBG di sekolah-sekolah dikelola langsung oleh POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) dengan skema Swakelola Tipe IV sebagaimana diatur dalam Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021? Apakah mungkin orang tua menjadi pengelola utama? Apa dampaknya terhadap kualitas gizi, akuntabilitas publik, dan ekonomi lokal?
Pola Yayasan; Praktis, tapi Rentan
Mari kita mulai dari pola yang kini lazim dijalankan: kontrak dengan yayasan. Secara administratif, pola ini relatif sederhana. Pemerintah daerah tinggal menandatangani kontrak dengan yayasan tertentu, lalu menyalurkan dana untuk sejumlah porsi makanan. Yayasan mengatur dapur, membeli bahan, memasak, dan mendistribusikan makanan ke sekolah. Laporan yang diterima pemerintah biasanya berupa bukti distribusi, kuitansi, dan foto-foto kegiatan.
Kelebihan pola ini jelas. Beban administrasi pemerintah berkurang. Pemerintah tidak perlu repot-repot mengatur belanja harian, memikirkan tenaga dapur, atau memantau distribusi di setiap sekolah. Semua ditanggung oleh yayasan. Bagi pejabat daerah, model ini memberi rasa aman karena tanggung jawab operasional sudah dialihkan ke pihak ketiga.
Namun, di balik kenyamanan itu, ada masalah serius. Pertama, transparansi nyaris tidak ada. Orang tua murid tidak tahu berapa sebenarnya harga bahan yang dibeli, bagaimana standar higienitas dapur, dan berapa margin keuntungan yang diambil yayasan. Kedua, risiko moral hazard sangat besar. Yayasan bisa saja menekan biaya bahan pangan untuk meraup margin lebih tinggi. Dalam situasi inilah muncul kasus menu yang tidak sesuai standar, lauk pauk yang kualitasnya rendah, hingga insiden keracunan massal.
Secara filosofis, pola yayasan menempatkan orang tua murid hanya sebagai penerima pasif. Anak mereka menerima makanan, tapi orang tua tidak punya suara dalam menentukan kualitas makanan yang masuk ke tubuh anaknya. Konsep "makan bergizi" akhirnya tereduksi menjadi sekadar "makan murah yang penting kenyang."
POMG dan Swakelola Tipe IV: Sebuah Model Partisipatif
Berbeda dengan pola yayasan, Swakelola Tipe IV membuka ruang bagi masyarakat untuk menjadi pelaksana kegiatan yang dananya berasal dari pemerintah. Dalam konteks MBG, POMG bisa berperan sebagai kelompok masyarakat yang diberi mandat untuk mengelola dana, membeli bahan, mengatur dapur, hingga mendistribusikan makanan. Pemerintah tetap mengawasi, menetapkan standar gizi, dan melakukan audit, tetapi operasional sehari-hari ditangani oleh orang tua dan guru.
Filosofinya jelas, siapa yang paling berkepentingan terhadap gizi anak jika bukan orang tua mereka sendiri? Dengan menyerahkan kendali kepada POMG, negara tidak hanya menyalurkan dana, melainkan juga membangun sense of ownership di kalangan orang tua. Program MBG tidak lagi dipandang sebagai proyek pemerintah pusat, melainkan kebutuhan nyata anak-anak di sekolah.
Selain itu, POMG membawa kontrol sosial yang jauh lebih kuat. Orang tua akan lebih berani mengkritik jika menemukan porsi yang berkurang, menu yang tidak sesuai standar, atau dapur yang tidak higienis. Dalam konteks sosial Indonesia yang masih kental dengan gotong royong, model ini berpotensi menghidupkan kembali semangat partisipasi kolektif di sekolah-sekolah.
Dampak Ekonomi: Siapa yang Diuntungkan?
Analisis sederhana dengan simulasi Rp 1 triliun anggaran di Riau memperlihatkan kontras yang mencolok. Jika dana disalurkan lewat model yayasan, porsi terbesar justru terserap ke ritel modern dan distributor besar, dengan dampak kecil ke petani lokal atau UMKM. Sebaliknya, jika dikelola oleh POMG dengan Swakelola Tipe IV, dana cenderung lebih banyak berputar di pasar lokal. Sayur dibeli dari petani sekitar, ikan dari nelayan Sungai Siak, dan bumbu dari pedagang pasar tradisional.
Hasil simulasi dapat menunjukkan bahwa dengan model POMG, sekitar Rp 300 miliar bisa langsung masuk ke petani lokal, Rp 250 miliar ke UMKM pengolah makanan, dan Rp 150 miliar menciptakan lapangan kerja baru di dapur dan distribusi. Bandingkan dengan pola yayasan, di mana hampir Rp 400 miliar lari ke ritel modern nasional, sementara petani lokal hanya kebagian Rp 150 miliar. Artinya, model POMG tidak hanya menyehatkan anak, tetapi juga menghidupkan ekonomi rakyat kecil di sekitar sekolah.
Salah satu kritik terhadap model yayasan adalah hilangnya nilai pendidikan gizi kolektif. Anak-anak memang diberi makan, tetapi orang tua tetap pasif. Mereka tidak belajar apa-apa tentang pentingnya protein, variasi menu, atau cara memasak higienis.
Dalam model POMG, literasi gizi bisa ditingkatkan secara signifikan. Orang tua yang terlibat langsung di dapur akan memahami pentingnya menjaga suhu penyimpanan, memilih bahan segar, dan menghindari kontaminasi silang. Pengetahuan itu bisa terbawa pulang ke rumah, sehingga pola konsumsi keluarga ikut berubah. Efeknya, gizi anak tidak hanya membaik di sekolah, tetapi juga di rumah.
Selain itu, MBG berbasis POMG menciptakan kesetaraan sosial yang lebih kuat. Semua anak makan menu yang sama, tanpa membedakan status ekonomi orang tua. Tidak ada lagi pemandangan anak dari keluarga kaya membawa bekal mewah sementara anak miskin hanya membawa nasi kosong. Sekolah benar-benar menjadi ruang kesetaraan, di mana hak anak atas gizi dipenuhi secara kolektif.
Aspek Hukum, Akuntabilitas, dan Simulasi Dampak Sosial
Dari sisi hukum, Swakelola Tipe IV sudah memiliki payung jelas. Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021 membuka jalan bagi kelompok masyarakat untuk menjadi pelaksana kegiatan pemerintah. Dalam hal ini, POMG bisa disahkan sebagai kelompok masyarakat penerima mandat.
Tentu ada risiko administratif. Tidak semua orang tua paham cara membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai standar APIP atau BPK. Namun risiko ini bisa diatasi dengan pendampingan teknis dari inspektorat daerah atau dinas pendidikan. Lagi pula, kesalahan administrasi yang mungkin dilakukan POMG relatif lebih kecil risikonya dibanding praktik mark-up sistematis oleh yayasan.
Simulasi lain tentang angka stunting di Riau menunjukkan hasil yang menarik. Jika MBG dikelola dengan pola yayasan atau dana tunai ke orang tua, laju penurunan stunting hanya sekitar satu persen poin per tahun. Artinya, pada 2030 angka stunting masih bertahan di kisaran 17 persen. Sebaliknya, jika MBG dikelola secara kolektif dengan standar ketat di sekolah-sekolah oleh POMG, angka stunting bisa turun lebih cepat, mencapai 10--11 persen pada 2030.
Perbedaan enam persen poin mungkin terdengar kecil, tetapi pada skala populasi anak-anak Riau, itu berarti puluhan ribu anak yang terselamatkan dari risiko gagal tumbuh, hambatan kognitif, dan keterbatasan produktivitas di masa depan.
Kapasitas dan Potensi Konflik