Mohon tunggu...
Rinaldi
Rinaldi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

“You learn something every day if you pay attention”

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Excess Profit Tax sebagai Solusi Kebijakan Pajak di Tengah Pandemi Covid-19

29 April 2020   21:33 Diperbarui: 29 April 2020   21:37 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Update Kondisi APBN Indonesia

Jumat, 17 April 2020, Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan baru saja merilis realisasi APBN tahun 2020, tidak ada yang special dari angka-angka yang disajikan oleh Sang-Bendahara Umum Negara tersebut, malahan jika dilihat pada ringkasan eksekutif, realisasi yang disajikan tergolong merupakan sebuah pencapaian yang bagus, pertama, realisasi defisit yang mencapai Rp. 76 Triliun lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp. 103, 07 Triliun.

Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka akan terlihat bahwa salah satu penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah penerimaan negara bukan pajak yang pertumbuhannya mencapai 36,8% y.o.y, dengan salah satu sub-PNBP yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan, penerimaan dari sub-PNBP ini mencapai 907.314% y.o.y. Penerimaan inilah yang mendorong capaian penerimaan negara menjadi 7,72% y.o.y dan meng-off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian realisasi belanja negara tahun lalu pada periode yang sama.

Bagaimana dengan penerimaan negara dari lumbung penerimaan perpajakan?, jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPN BM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan Penerimaan PPh Orang Pribadi yang seharusnya mencapai peak-nya pada bulan Maret (karena penyampaian SPT PPh OP normalnya paling lambat Tanggal 31 Maret), pertumbuhan penerimaannya mencapai -52,23%, hal ini mungkin masih dimaklumi, mengingat otoritas pajak (DJP) memperpanjang masa penyampaian SPT PPh OP menjadi 30 April 2020.

Kebijakan Pajak yang telah diambil Pemerintah Indonesia

Sri Mulyani menjelaskan bahwa, pertumbuhan penerimaan PPN yang positif ini merupakan transaksi yang terjadi pada bulan Februari 2020, karena Beleid PPN di Indonesia yang mengatur bahwa pembayaran PPN bisa dilakukan pada bulan berikutnya. Artinya penerimaan PPN yang positif ini bukan representasi kegiatan ekonomi Indonesia yang sebenarnya terjadi pada bulan Maret 2020. Kita tahu bahwa bulan Maret merupakan bulan awal terjadinya Pandemi COVID-19 di Indonesia. 

Lebih jauh lagi, hal ini mengindikasikan bahwa penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir bisa dipastikan bakal menurun lebih rendah lagi, belum lagi memasukkan dampak pemberian insentif/fasilitas Pemerintah di bidang perpajakan antara lain : PMK 23/2020 tentang insentif untuk Wajib Pajak pada sektor yang terdampak corona, Perppu 1/2020 tentang kebijakan keuangan negara & stabilitas sistem keuangan serta PMK 28/2020 tentang fasilitas untuk barang dan jasa yang diperlukan dalam penanganan Corona.

Jika penerimaan negara turun, dan realisasi belanja negara tetap atau bahkan meningkat, maka bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis (tentu hal ini tanpa memasukkan strategi peningkatan pembiayaan).

Kembali ke kebijakan insentif pajak, Pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak Covid-19?, Apakah pemberian fasilitas PPh 21 ditanggung Pemerintah kepada pekerja dengan penghasilan dibawah atau sama dengan 200 juta menjamin mereke tidak di PHK?, apakah pemberian fasilitas restitusi PPN dipercepat menjamin bahwa mereka yang menerima fasilitas tersebut akan menggunakan dana yang mereka dapat dari restitusi itu untuk keluar dari jeratan Covid-19? 

Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman, mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Amerika dalam menghadapi Covid-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009, pada saat itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang benar-benar secara langsung akan menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman brothers, 

namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Bahkan mereka berargumen, banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari bencana Covid-19 ini.Penjualan Amazon meningkat, disaat pabrik batu-bata menutup pabrik mereka, Bisnis Cloud meningkat, banyaknya akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat ini disaat para pekerja melakukan “kerja di rumah”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun