Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kota Seribu Parkir

27 Juli 2020   12:32 Diperbarui: 27 Juli 2020   12:26 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak emosi diperlakukan seperti itu. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya saya terpaksa mengalah. Menyerahkan satu lembar uang dua ribuan. Walau tetap merasa tidak nyaman.

Ketika saya ceritakan pada suami, saya malah dikatakan aneh. Karena biasanya sering memberikan uang lebih kepada juru parkir, tapi pada kali lain malah menggerutu dimintai uang parkir. 

Bukannya tidak mau berbagi, tapi rasanya aneh saja ketika ada yang memungut biaya parkir di depan mesin ATM. Ini hampir berlaku untuk semua ATM di Kota ini. Kecuali ATM yang berada dalam Mall.

Ada lagi kejadian yang lebih menegangkan. Siang itu tiba-tiba saya mendapat telepon dari sekolah anak saya memberitahukan bahwa anak saya sakit. Bergegas saya mendatangi lokasi sekolah. Setelah berbicara sekedarnya dengan guru piket akhirnya kami keluar dari sekolah. Tempat yang saya tuju adalah puskesmas terdekat. Setelah diperiksa di IGD,  dokter jaga merujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Karena mimisannya tidak berhenti ketika diberi pertolongan di puskesmas. 

Disaat mau menginjak pedal gas keluar dari pinggir jalan yang berada di depan puskesmas tempat saya parkir, seorang lelaki bertopi lebar menghampiri. Seperti biasa beliau menagih uang parkir. Saya bergegas membuka anak tas mencari pecahan dua ribuan. Ternyata tidak ada uang kecil satupun di tas saya. 

Saya menjelaskan kalau saya tidak punya uang kecil. Pecahan terkecil yang ada dalam tas saya adalah limapuluh ribuan. Lelaki itu tidak mau peduli. Dia marah-marah dengan mengatakan saya berusaha berkelit. 

Saya masih berusaha menjelaskan kalau saya buru-buru mesti membawa anak saya ke rumah sakit. Namun tetap tidak dipedulikannya. Akhirnya dengan nekad saya menekan pedal gas beranjak dari sana. Di dari spion  saya lihat beliau berusaha mengejar. Namun saya harus fokus kepada anak gadis saya dibangku samping.

Tiga kejadian itu cukup untuk menjadi pelajaran bagi saya agar tidak berhenti tiap sebentar. Coba bayangkan. Kalau sebelum kekantor saya berhenti dulu pada tempat penjual lontong. Rp. 2.000,- melayang. 

Setelahnya saya mesti berhenti pada sebuah warung emak-emak untuk membeli bubur kacang hijau. Maklum, persiapan logistik agar aman seharian bekerja. Artinya Rp.2000,- mesti saya keluarkan lagi untuk parkir. Padahal beli buburnya hanya Rp. 5.000,- . Jika saya berhenti lagi untuk  sekedar memfoto kopi arsip pribadi, maka Rp. 6.000,- harus saya keluarkan menjelang sampai dikantor. 

Pulangnya saya mesti berhenti di warung untuk sekedar membeli sayuran. Terus membeli buah di tukang buah. Belum lagi ketika harus memenuhi pesanan mi ayam anak gadis. Bisa dihitung sendiri berapa biaya ekstra yang harus saya keluarkan hanya untuk parkir. Itu dalam sehari. 

Bagaimana jika dalam sebulan? Maka langkah yang paling tepat adalah harus memperhitungkan dengan cermat dimana akan berhenti. Kalau mau belanja mesti dilihat dan dicari lokasi dimana semuanya relatif tersedia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun