Setiap 2 Mei, bangsa Indonesia mengenang jasa Ki Hajar Dewantara dengan merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Bapak Pendidikan Nasional ini bukan sekadar meninggalkan slogan "Tut Wuri Handayani", tetapi mewariskan filosofi pendidikan yang mendalam---pendidikan harus memanusiakan manusia, membangun karakter, dan mengakar pada kebudayaan. Namun, di tengah deru revolusi digital yang mengubah wajah peradaban, sistem pendidikan kita justru menghadapi ujian terberat, yaitu bagaimana melahirkan generasi yang tidak hanya unggul dalam angka rapor, tetapi juga tangguh menghadapi kompleksitas kehidupan? Â
Daniel Goleman (2004) dalam penelitiannya tentang kecerdasan emosional membuktikan sesuatu yang sebenarnya sudah diajarkan Ki Hajar sejak lama, yaitu kesuksesan seseorang 80% ditentukan oleh kemampuan mengelola emosi dan berelasi sosial, bukan sekadar IQ tinggi. Ironisnya, sistem pendidikan kita masih terjebak dalam kubangan kompetisi akademik sempit. Lihatlah bagaimana anak-anak dicekoki bimbingan belajar sejak SD demi mengejar nilai, sementara pendidikan karakter hanya menjadi tempelan di rapor. Â
Pasal 3 UU Sisdiknas memang jelas menyatakan tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia beriman, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab. Namun realitanya, kita justru menyaksikan fenomena miris, seperti pelajar yang juara olimpiade sains, tetapi melakukan bullying, mahasiswa berprestasi yang menyebar ujaran kebencian, atau generasi Z yang piawai bermedia sosial, tetapi gagap berkomunikasi tatap muka. Survei KPAI 2022 menunjukkan 67% kasus perundungan terjadi di lingkungan sekolah---bukti nyata kegagalan pendidikan karakter. Â
Era digital memang membawa paradoks. Di satu sisi, teknologi membuka gerbang pengetahuan tanpa batas. Di sisi lain, kita menyaksikan generasi "strawberry generation" yang mudah stres, kecanduan gim online, dan terjerat jerat hoaks. Ki Hajar Dewantara pasti akan menangis melihat anak-anak Indonesia lebih hafal karakter TikTok daripada tokoh pewayangan. Pendidikan yang seharusnya memerdekakan justru membelenggu anak didik dalam kurungan algoritma media sosial. Â
Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret:
Mengurangi ketergantungan pada ujian standar dan memperkenalkan metode penilaian holistik yang mencakup perkembangan emosional dan sosial.
Memasukkan program kesehatan mental dalam kurikulum dan melatih guru untuk menjadi pendengar yang baik.
Sekolah harus menjadi ruang aman bagi perkembangan anak, bukan arena kompetisi yang menekan.
Mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap aktivitas pembelajaran, bukan sekadar teori di buku pelajaran.
Buku "Komunikasi Pendidikan: Teori dan Praktik" karya Asep Saeful Muhtadi (2018) menawarkan pendekatan segar tentang bagaimana pendidik dapat menciptakan komunikasi yang inspiratif dengan peserta didik. Buku ini menekankan transformasi peran guru dari sekadar pengajar menjadi fasilitator yang mampu membangun dialog humanis di kelas. Penulis menguraikan pentingnya komunikasi dua arah yang melibatkan teknik mendengar aktif, di mana guru tidak hanya menyampaikan materi tetapi benar-benar memperhatikan dan merespon kebutuhan emosional siswa. Buku ini juga membahas strategi penyampaian pertanyaan-pertanyaan inspiratif yang mampu merangsang daya kritis siswa, bukan sekadar menguji ingatan. Yang menarik, Muhtadi tidak melupakan aspek nonverbal dalam komunikasi pendidikan, seperti penggunaan kontak mata, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh yang tepat untuk menciptakan iklim belajar yang nyaman. Dalam konteks kekinian, buku ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana memanfaatkan media digital tanpa kehilangan nuansa komunikasi yang manusiawi. Dengan berbagai contoh kasus nyata dan solusi praktis, buku ini menjadi panduan berharga bagi pendidik yang ingin menciptakan lingkungan belajar yang demokratis dan menginspirasi, khususnya dalam menghadapi karakteristik generasi Z dan Alpha yang kritis, tetapi rentan secara emosional.
Momentum Hardiknas 2025 harus menjadi titik balik. Saatnya kita kembali ke akar, yaitu pendidikan bukan pabrik pencetak tenaga kerja, tetapi taman persemaian manusia merdeka yang berkarakter. Seperti pesan Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Di tengah gempuran teknologi, justru sekaranglah saatnya kita memperkuat jati diri pendidikan Indonesia yang humanis dan berbudaya. Â