Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

PETA JALAN PGP PASCA KEGAGALAN RENSTRANAS PGPK

10 Oktober 2018   14:18 Diperbarui: 8 Oktober 2020   05:54 3640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak banyak orang yang tahu bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkan World Sight Day atau Hari Penglihatan Sedunia di setiap hari Kamis pada minggu kedua di bulan Oktober. Pada tahun ini, Hari Penglihatan Sedunia jatuh pada tanggal 11 Oktober 2018, dengan mengambil tema Eye Care Everywhere. 

Pencanangan Hari Penglihatan Sedunia ini dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dunia terhadap berbagai isu global yang berkaitan dengan masalah kebutaan dan gangguan penglihatan yang diderita oleh penduduk bumi.

Menurut laporan WHO tahun 1999-2000, sebanyak 285 juta orang penduduk bumi ini memiliki masalah dalam penglihatan. Hampir 39 juta orang diantaranya menderita kebutaan, sementara 246 juta orang lainnya mengalami gangguan penglihatan. Ironisnya, 90 % dari para penyandang gangguan penglihatan dan kebutaan ini hidup di negara-negara berkembang dengan pendapatan atau upah yang rendah. 

Untuk mengatasi masalah ini, WHO bersama dengan International Agency for Prevention of Blindness (IAPB) telah menyusun strategi penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan, yang dikenal dengan program Vision 2020: Right to Sight.

Tujuan pokok dari program Vision 2020: Right to Sight ini adalah untuk memenuhi hak setiap warga negara memperoleh penglihatan yang optimal dengan sebuah gerakan inisiatif global yang berupaya untuk mengeliminasi berbagai penyebab penyakit kebutaan dan gangguan penglihatan yang terjadi di masyarakat. 

Dokumentasi PERDAMI
Dokumentasi PERDAMI
Sejak tahun 2000, IAPB telah menetapkan World Sight Day sebagai kegiatan resmi yang seyogianya wajib dilaksanakan oleh negara -egara anggotanya, termasuk Indonesia.

Pemerintah Indonesia memang berkepentingan untuk ikut terlibat aktif dengan komunitas internasional dalam upaya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan di masyarakat.

Pasalnya, hasil Survei Nasional pada tahun 1993-1996 oleh Departemen Kesehatan RI memperlihatkan prevalensi (angka penderita) kebutaan yang cukup tinggi yakni 1.5 %  sehingga menempatkan Indonesia di ranking pertama dengan prevalensi kebutaan tertinggi di kawasan negara Asia Tenggara.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka kebutaan ini, diantaranya ialah dengan pencanangan program Vision 2020: Right to Sight, pada 15 Februari 2000 oleh Wakil Presiden RI saat itu, Ibu Megawati Soekarnoputri. 

Melalui pencanangan Vision 2020 ini, berarti pemerintah wajib memberikan hak memperoleh penglihatan yang optimal bagi seluruh warga negara Indonesia. Salah satu indikatornya adalah berkurangnya jumlah warga negara Indonesia yang menyandang gangguan penglihatan dan kebutaan.

Sebagai implementasi dari program Vision 2020 ini, sejak tahun 2003 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) beserta organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata (Perdami) dan para stakeholder menyusun Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK). 

Dua tahun kemudian dokumen ini disahkan lewat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1472/MENKES/SK/X/2005. Renstranas PGPK ini menjadi acuan  dan pedoman dalam pelaksanaan program kesehatan indera penglihatan di Indonesia bagi institusi/organisasi pemerintah maupun non pemerintah (swasta).

GAGAL

Sayangnya, Renstranas PGPK ini tidak terimplementasi sesuai rencana. Bahkan, kita tidak ragu-ragu mengatakan bahwa program nasional ini telah gagal total! Selama kurun waktu 2005-2014, tidak terlihat kesungguhan pemerintah untuk melaksanakan Keputusan Menkes ini secara serius. Setidaknya, ada 2 tanda yang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan program ini.

Pertama. Renstranas PGPK menginstruksikan pemerintah untuk membentuk dan mendayagunakan Komite Nasional PGPK sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. 

Di tingkat pusat, Komite Nasional PGPK memang telah dibentuk, namun kenyataannya seakan akan dibiarkan 'mati suri' sehingga tidak mampu menjalankan tugas tugas pokok dan fungsinya karena tidak  memperoleh dukungan dana, sarana dan prasarana yang memadai.

Selama 10 tahun, Komite Nasional PGPK ini bagaikan "kerakap tumbuh di batu", mati segan hidup tak mau.

Sumber : BUKU PETA JALAN PGP
Sumber : BUKU PETA JALAN PGP
Kedua. Meningkatnya angka gangguan penglihatan dan kebutaan Indonesia yang mencerminkan semakin bertambahnya jumlah penderita gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia.

Mulai tahun 2014 sampai tahun 2016, Kemenkes RI melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) mendanai dan melakukan survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) di 15 provinsi. 

Hasilnya, prevalensi kebutaan di Indonesia rata-rata 3 %. Tiga provinsi dengan prevalensi kebutaan tertinggi adalah Jawa Timur (4.4 %),Nusa Tenggara Barat (4 %) dan Sumatera Selatan (3.6 %).

Dari data ini, terlihat bahwa jumlah warga masyarakat yang menderita kebutaan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan survei nasional tahun 1993-1996. Ini berarti program Renstranas PGPK yang dijalankan oleh pemerintah selama tahun 2005 sampai tahun 2014 tidak berhasil menurunkan angka kebutaan. Artinya, pemerintah telah gagal memenuhi hak hak warga masyarakat untuk memperoleh penglihatan yang optimal.

PETA JALAN

Namun, pada tahun 2015, Kemenkes RI "menghidupkan" kembali sekaligus menstrukturisasi Komite Nasional PGPK menjadi Komite Mata Nasional. 

Selanjutnya, Kemenkes RI meluncurkan sebuah program baru yang disebut dengan Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan (Peta Jalan PGP) di Indonesia Tahun 2017-2020. 

Peluncuran Peta Jalan PGP ini dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Prof.Dr.dr.Nila Djuwita F. Moeloek, Sp.M(K) bertepatan dengan Hari Penglihatan Sedunia, 12 Oktober 2017 di Pontianak Kalimantan Barat.

Secara umum, Peta Jalan PGP ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan Renstranas PGPK.  Seperti termaktub di dalam dokumen Peta Jalan PGP, tujuan program Penanggulangan Gangguan Penglihatan yang dikutip oleh Andi F Noya, Ketua Komite Mata Nasional adalah tersedianya pelayanan kesehatan mata yang berkualitas untuk seluruh masyarakat Indonesia yang membutuhkan tanpa adanya hambatan ekonomi sehingga setiap orang mempunyai penglihatan optimal dan sepenuhnya mengembangkan potensi diri. Tujuan ini diharapkan dapat terjadi selama kurun waktu 13 tahun, dari tahun 2017 sampai tahun 2030.

Dalam perspektif Peta Jalan PGP, sasaran penanggulangan penglihatan di Indonesia dibagi menjadi dua yakni gangguan penglihatan akibat katarak dan gangguan penglihatan bukan akibat katarak yang berdasarkan penyebab lainnya seperti Kelainan Refraksi, Retinopati Diabetika, Glaucoma, Retinopati Prematuritas dan Low Vision. 

Penyakit katarak merupakan penyebab gangguan penglihatan di Indonesia. Lebih kurang 70 % sampai 80 % gangguan penglihatan berat dan kebutaan disebabkan oleh katarak, sehingga prioritas program Penanggulangan Gangguan Penglihatan pada Peta Jalan ini adalah menurunkan prevalensi gangguan penglihatan akibat katarak dengan tetap melakukan upaya penanggulangan ghangguan penglihatan dengan penyebab lain.

Namun demikian, tujuan ini tidak mudah untuk dicapai mengingat sampai saat ini prevalensi kebutaan di Indonesia masih relatif tinggi, jumlah operasi katarak di Indonesia yang terlihat dari angka Cataract Surgical Rate (CSR) yang masih sangat rendah serta terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh layanan operasi katarak, khususnya setelah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) memberlakukan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan nomor 2 tahun 2018 tentang Penjaminan Layanan Katarak di dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Salah satu upaya dari Peta Jalan PGP ini adalah mendorong pelaksanaan penanggulangan katarak di setiap daerah secara komprehensif dan inklusif dengan meningkatkan jumlah, kualitas dan cakupan rujukan operasi katarak secara cepat dan optimal mulai dari tingkat masyarakat, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) hingga ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang merupakan jalur utama program penanggulangan gangguan penglihatan. 

Tentu saja, upaya ini tidak mudah untuk dijalankan karena kewajiban untuk melibatkan pemerintah daerah lewat peranan aktif dari Koordinator Program Penanggulangan Gangguan Penglihatan yang akan dibentuk di setiap daerah.

Kita berharap program penanggulangan gangguan penglihatan yang sudah direncanakan di dalam Peta Jalan PGP ini dapat dijalankan dengan serius dan sungguh sungguh serta tidak bernasib sama seperti Renstranas PGPK. Jangan sampai terjadi, "ganti menteri, ganti pula kebijakannya".

Selamat merayakan Hari Penglihatan Sedunia!

Happy World Sight Day 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun