Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mantu di Hari Lebaran, Siapa Takut?

23 Agustus 2012   10:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:25 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_194680" align="aligncenter" width="300" caption="Pengantin Jawa (sumber nuragni29.multiply.com)"][/caption]

Pernahkah anda mendengar orang mantu pada hari-hari libur lebaran. Yang saya maksud dengan mantu disini adalah mengawinkan anak atau mengadakan pesta perkawinan anak.

Seumur hidup saya baru menemukan satu kejadian, mantu pada saat libur lebaran, yaitu teman kantor sendiri. Memang mantu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan pada saat-saat libur lebaran, namun kita hampir tidak menemukannya dalam keseharian.

Mengapa demikian ? Dengan logika sederhana pun kita dapat memahaminya. Pada saat libur lebaran setiap keluarga akan disibukkan dengan tradisi mudik dan bersilaturahmi. Lha kalau mantu pada saat saat ini, siapa yang akan menghadiri hajatan kita. Terlebih lagi, siapa yang akan membantu kita mempersiapkan tetek bengek penyelenggaraan acara.

Namun sadarkah kita bahwasannya pada saat-saat terakhir libur lebaran, sejatinya semua orang, bukan hanya orang jawa, secara tidak sadar telah melakukan ritual mantu ini ketika mereka mudik, Tidak percaya? Begini jelasnya.

Perinciannya terkait dengan bahasa, karena dalam bahasa terkandung filosofi kebudayaan yang maknawi.

Walaupun sudah diserap ke dalam ragam cakapan Bahasa Indonesia,sebenarnya istilah mantu itu sendiri berasal dari Bahasa Jawa. MANTU berasal dari dua suku kata MAN dan TU. Masing masing suku kata, MAN dan TU merupakan singkatan dari kata dieMAN-eman mekso meTU. Terjemahan bebasnya yang disayang-sayang (eman) terpaksa dikeluarkan (metu).

Memberi makna kata berdasarkan atas bunyi suku katanya seperti contoh di atas dalam bahasa Jawa disebut sebagai Jarwa Dhosok atau Kreta Bahasa. Dengan demikian dalam mencari makna suatu kata, aturan-aturan tata kata atau pertuturan bahasa - yang meskipun tak baku - harus diikuti oleh seseorang yang ingin menjarwadhosokkan suatu kata.

Menurut www.parisada.org, sesuai dengan asal penyebutannya, Jarwa Dhosok sendiri berasal kata “jarwa” (penjelasan) serta “andhosok”, dimana kata terakhir ini masih bisa diuraikan lagi menjadi kata “andha” (tangga) dan “usuk” {tiang untuk penyangga rumah).

Dengan demikian sesungguhnya seseorang akan dapat membangun fondasi pengetahuan melalui makna suatu kata sebagaimana kita menggunakan andha dan usukuntuk membangun rumah yang kokoh.

Hal ini tidaklah berlebihan mengingat dalam jarwa dhosok, pada hakikatnya bukan sekedar “mempermainkan” kata utamanya “bunyi”, tetapi lebih banyak bermain otak sehingga apa yang menjadi produk dan jarwa dhosok atau model lain dari kreta basa ini tetap berdalih dan logis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun