Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Beranda: Teman Cantik Itu Pemberani, Sebuah Keberpihakan Ala Mahabharata

27 November 2012   23:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:34 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1354057440873054449

[caption id="attachment_211734" align="aligncenter" width="542" caption="Karna, Raja Angga, seorang tokoh pejuang dalam Mahabharata (sumber:hinduhumanrights.info)"][/caption]

Keberpihakan adalah suatu pilihan.Konsekuensi dari suatu pilihan terkadang pahit. Namun sepahit apa pun,keberanian mengambi sikap menjadi penanda kekuatan pribadi seseorang.

Dalam epos Mahabharata, tokoh Karna, sejatinya adalah saudara seibu Pandawa. Sebelum mempunyai anak Pandawa Lima, sang Ibu Dewi Kunti menjajal mantra yang pengundang para Dewa untuk memberi anak. Sebenarnya niat awal Dewi Kunti adalah hanya mencoba coba mantra yang dahulunya diberikan oleh Resi Durwasa

Namun jalan takdir telanjur berubah ketika Sang Dewa Matahari, Batara Surya akhirnya mendatangi Kunti. Kunti memohon maaf serta mengharapkan Batara Surya kembali ke kahyangan. Ketika Batara Surya memberitahukan bahwa dirinya datang untuk memberinya anak, Kunti menangis sebab dirinya masih perawan. Kunti tidak ingin hamil dan melahirkan anak tanpa suami.

Walaupun demikian Batara Surya mempunyai jalan keluar dengan mengeluarkan jabang bayi lewat itu kuping. Bayi itu lahir dengan seperangkat senjata lengkap dan diberi nama Karna.

Kunti kebingungan dengan apa yang harus dilakukan. Untuk menghindari rasa malu, Kunti memasukkan bayi Karna ke dalam kotak yang tertutup rapat dan menghanyutkannya di sungai. Seorang sais kereta menemukan bayi Karna dan mengasuhnya dengan penuh kasih sayang.

Karna dewasa selanjutnya akan bertemu Duryudana, anak sulung dari seratus orang Kurawa. Duryudana menyambutnya selayaknya sahabat dan memberinya gelar Raja Angga.

Karna merasa Kurawalah yang memberinya penghidupan, kedudukan dan kehormatan. Sebagai balas budi, kelak di perang Bharatayudha, alih alih memihak saudara seibunya Pandawa,Karna berperang di pihak Kurawa. Menurut Karna bukan watak ksatria apabila ia memihak Pandawa, karena ibu Pandawa dahulu justru membuangnya. Dalam Perang Bharatayudha, Karna akan berhadapan saling membunuh dengan adik seibunya, Arjuna.

Cerita tentang keberpihakan ini mengingatkan suatu kisah semasa SMA. Ketika itu ada guru olahraga yang kontroversial. Guru ini menerapkan aturan yang menurut kawan kawan sekelas semena mena. Pak Jabung, sebutlah begitu nama guru itu, mewajibkan tiap siswi memakai celana pendek ketika berolah raga. Tiap siswi minimal harus mengenakan celana tanggung, sebatas lutut, tidak boleh memakai celana training panjang. Alasannya, agar lebih leluasa dan tidak menganggu pergerakan kaki ketika berolah raga.

Karena keyakinannya,peraturan itu memicu beberapa siswi, ,memilih tidak berolahraga daripada harus mengenakan celana tanggung. Persis seperti yang dikatakan Pak Jabung bahwa apabila masih ingin mengikuti olah raga, aturan itu harus diikuti. Nurani saya tidak bisa menerima perlakuan guru olahraga terhadap beberapa siswi teman sekelas yang berkerudung tu.

Saya mengambil inisiatif menggalang solidaritas teman teman sekelas. Saya katakan apabila kejadian itu berulang,maka pada pertemuan olahraga berikutnya, warga kelas harus berani bersikap. Sikap yang saya usulkan adalah seluruh warga kelas hendaknya mogok tidak ikut olahraga, bila ada siswi yang dilarang olahraga. Beberapa pentolan teman teman sekelas setuju dengan usul ini.

Beberapa teman siswi yang minggu sebelumnya dilarang ikut, tetap saya minta untuk hadir di lapangan olahraga dengan celana training panjang. Setelah teman teman sekelas berbaris, Pak Jabung tetap menyuruh siswi siswi bercelana panjang ini keluar dari barisan,tidak boleh mengikuti olahraga. Segera setelah beberapa siswi siswi ini meninggalkan barisan,saya segera menggerakkan teman teman sekelas untuk bubar, kembali ke kelas.

Pak Jabung terbengong dengan bubarnya teman teman secara massal. Namun demikian diantara bubaran teman teman kembali ke kelas, ada dua orang teman siswi yang tetap pada pendiriannya, mengikuti pelajaran olahraga sampai selesai.

Dua siswi ini, sebutlah Vida dan Debra, hanya terdiam, tidak ikut kembali ke kelas. Pak Jabung pun melanjutkan pelajaran olahraga yang hanya diikuti oleh Vida dan Debra

Setelah Vida dan Debra memasuki kelas, teman teman, termasuk saya, mencemooh mereka berdua dengan teriakan huuu...huuu...huuuu. Dengan tenang Debra tetap duduk di bangkunya, tak menghiraukan teriakan teman teman. Sementara itu Vida, segera setelah teriakan ..huu...itu berlalu, nampak beranjak dari bangkunya.

Tiara Shantika Vida , yang biasa  dipanggil Vida itu berdiri tegak sambil berkacak pinggang menatap teman teman sekelas. Lesung pipit yang biasa menghiasi wajah hitam manis itu sontak hilang. Berganti dengan wajah seram.

Dengan mata berkaca kaca Vida mengatakan,“ Saya bukanlah orang yang tidak toleran terhadap teman teman “.

Sambil menyeka airmata yang mulai menetes Vida berujar,“ Namun saya diajari orang tua untuk tidak melanggar aturan sekolah. Kalau toleransi itu mengharuskan saya melanggar aturan sekolah, maka saya tetap akan berpihak pada orang tua yang mengari saya untuk taat pada guru dan aturan sekolah.

Suasana kelas yang tadinya ramai, berubah menjadi hening mencekam. Tak seorang pun yang mendebat Vida yang menangis sesenggukan.

Kemudian Vida berkata,“ Tolong pahami posisi saya, saya ingin bersikap toleran terhadap teman teman, namun kali ini bertentangan dengan nilai yang diajarkan orang tua saya “.

Saya pun merenung, saya kagum terhadap Vida yang berani mengungkapkan pendirian tegas menantang teman teman sekelas. Sebuah sikap yang patut diapresiasi, karena kami baru berumur enam belas tahun ketika itu. Pemikiran dan kematangan pandangan Vida saya anggap melampaui umur kami waktu itu.

Mendengarkan kegalauan Vida, suasana berubah menjadi cair. Nampaknya teman teman bisa memahami sisi pandang Vida. Ada beberapa teman siswi yang mendekati dan akhirnya merangkul Vida.

Seperti halnya tokoh Karna yang berpihak pada musuh saudara-saudaranya Pandawa, Vida juga telah berani mengambil sikap, menantang solidaritas teman teman sekelas dan berpihak pada nilai yang diajarkan orang tuanya.

Epos Mahabharata mengajarkan bahwa dalam kehidupan ini kita tidak selalu bisa membahagiakan semua orang. Dengan segala konsekuensinya, pilihan keberpihakan kadang menjadi dilema yang harus diatasi. Jamak hal ini kita temui dalam kehidupan sehari hari. Berpihak pada atasan atau bawahan, perusahaan atau rekanan, orang tua atau saudara, perusahaan atau pemerintah. Tidak selamanya keberpihakan itu terwujud secara jelas. Terkadang keberbihakan itu hanya terpendam dalam hati.

Seperti kata kata Bisma,“ Senjataku ada di Kurawa, namun restuku selalu berada di pihak Pandawa“

Ditulis Rikho Kusworo 28 November 2012 selesai jam 5.45 pagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun