Mohon tunggu...
Rikaz Prabowo
Rikaz Prabowo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kalau tidak menulis, kamu akan dilupakan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Tragedi Kali Abang, Pergulatan Petani Sekitar G-30/S 1965 Karya Mahasiswa di Yogyakarta

8 Februari 2015   07:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:36 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14265160961790013382

[caption id="attachment_355728" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu sekuel Film, adegan penjemputan yang diduga terlibat BTI-PKI"][/caption]

Kreatif dan menyejarah. Itulah ungkapan yang pantas diucapkan ketika menyaksikan Film Pendek yang berjudul "Tragedi Kali Abang". Kali Abang sendiri dalam bahasa Jawa artinya Sungai Merah. Film ini sebenarnya adalah tugas akhir dari salah satu mata kuliah di Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta untuk angkatan 2011. Namun mereka membuatnya dengan sungguh-sungguh dan riset yang dalam. Salah satu nilai plus dalam film ini ialah diangkat dari kisah nyata tentang kemelut sosial sekitar tahun 1960an di Klaten (pedesaan) karena faktor ekonomi. Kemudian konflik ini memuncak pada tahun 1965 pasca Gerakan 30 September 1965 yang oleh Orba PKI lah dalangnya.

Film yang disutradarai oleh Arifin ini mengisahkan sepak terjang dua kelompok petani yang masing-masing dipengaruhi oleh 2 kekuatan besar politik saat itu. Kelompok petani pertama ialah kelompok petani yang pro pemerintah dan didukung oleh massa PNI yang diperankan oleh sosok yang bernama Suharto (diperankan saya). Petani kaya yang memiliki tanah luas dan memiliki petani penggarap. Sedangkan kelompok petani kedua ialah kelopok petani yang pro terhadap isu-isu Landreform yang tergabung dalam kubu Barisan Tani Indonesia (BTI) didukung oleh PKI. Sosok utama petani kelompok ini diperankan oleh tokoh bernama Joyosukarno, petani miskin yang sawahnya disewakan ke Suharto dan justru bekerja dilahannya sendiri sebagai petani penggarap.

Konflik mulai muncul saat tahun 1964 ketika harga kebutuhan pokok terus merangkak naik dan inflasi terus meningkat. Hal ini begitu mencekik leher Joyosukarno. Suradi, pentolan PKI di desa tersebut memberitahu Joyosukarno untuk meminta haknya kepada Suharto dari sawah yang disewakan tersebut. Menurut instruksi pemerintah melalui Menteri Agraria, tanah yang disewakan atau digadaikan, maka pemilik tanah tersebut berhak juga menerima hasilnya. Namun yang terjadi adalah Joyosukarno dimaki-maki dan diusir saat datang ke rumah Suharto untuk mengusut tanah tersebut. Sejak saat itu Joyosukarno mulai tidak suka dengan Suharto.

Mengetahui usaha Joyosukarno tidak berhasil, Suradi kembali mendekati Joyosukarno. Kali ini ia mengajak Joyosukarno untuk memperjuangkan nasibnya melalui forum pertemuan Barisan Tani Indonesia di desanya. Joyosukarno tertarik dan datang ke pertemuan tersebut, apalagi ia juga menjumpai petani-petani lain yang senasib dengannya. Pertemuan Barisan Tani Indonesia di desanya itu kemudian memutuskan untuk melakukan aksi sepihak terhadap tanah-tanah milik Setan-Setan Desa. Suatu pihak yang dicap oleh PKI sebagai orang-orang seperti Suharto yang memiliki tanah luas atau petani kaya. Tanah-tanah milik petani kaya mulai diduduki sebagai bentuk aksi sepihak, termasuk tanah milik Suharto. Dalam pendudukan tanah milik Suharto tersebut salah satu pelakunya tak lain Joyosukaro sendiri.

Maraknya aksi sepihak membuat pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden yang isinya tidak membenarkan aksi sepihak dan pelakunya dapat dihukum penjara. Suharto dan teman-teman PNI nya seperti Giyanto, Mangkuwiryo, dan Siswodarsono mengadakan pertemuan untuk membahas dan mengecam aksi sepihak tersebut. Pertemuan itu memutuskan untuk melakukan tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok yang melakukan aksi sepihak yang didukung oleh BTI dan PKI. Melalui bantuan ABRI, Suradi ditangkap dan dijatuhi hukuman 6 bulan. Sementara itu sengketa kepemilikan tanah antara Suharto dan Joyosukarno juga diselesaikan di Pengadilan. Tanah milik Joyosukarno kembali, namun hasil panen dan padi-padinya hakim memvonis masih milik Suharto hingga masa panen tiba. Untuk sementara konflik kelompok petani ini dapat diredam dan keadaan kembali kondusif.

Namun saat pecah Gerakan 30 September 1965 di Jakarta yang menewaskan petinggi-petinggi Angkatan Darat. Pasca Gestapu 1965 PKI dan simpatisannya memang berada diatas angin di daerah-daerah untuk sementara. Berbagai isu dan kekacauan pun berhembus, termasuk di desa itu. Kelompok PKI dan PNI mulai melakukan pengumpulan massa untuk mengantisipasi setiap kemungkinan terburuk yang terjadi. Seperti adanya simpatisan Dewan Jenderal di desa-desa. Isu itu pun akhirnya termakan juga dengan menimbulkan gesekan yang dinamakan peristiwa Kentong Gobyok. Beberapa tokoh PNI di desa itu diculik oleh kelompok yang diduga dari kelompok PKI. Dalam film ini Mangkuwiryo dan Giyanto dibunuh, sementara Suharto dan mandornya Darmo dikabarkan hilang. Tak cukup disitu, kerusahan juga pecah hingga menimbulkan bentrok fisik langsung antara pemuda kelompok PKI dan PNI.

Militer mulai bergerak cepat setelah mendengar informasi Depo yang berisi persenjataan dan perbekalan akan diduki oleh massa yang diduga BTI/PKI. Komandan tentara setempat segera memerintahkan anak buahnya untuk menghalau gerombolan massa itu di perbatasan dan menangkap beberapa.

Keesokan harinya Mangkuwiryo dan Giyanto ditemukan tewas mengenaskan. Siswodarsono teman PNI nya menduga hal itu dilakukan oleh kelompok PKI di desa tersebut pimpinan Suradi. Akhirnya Siswodarsono melaporkan hal itu kepada militer setempat. Disisi lain Suradi dan beberapa petani lainnya termasuk Joyosukarno mulai cemas dan gelisah terkait keadaan yang semakin kisruh saat itu. Dikabarkan tentara mulai melakukan penyisiran di desa-desa mencari PKI dan simpatisannya.

Kegelisahan itu akhirnya terjadi juga. Tentara mulai datang dan menjemput paksa orang-orang yang diduga PKI, termasuk yang hanya mengikuti pertemuan BTI sekalipun seperti Joyosukarno dan petani lain. Setelah dijemput, mereka lalu didata dan kemudian dimasukkan ke dalam truk. Dalam hal ini Tentara bekerjasama dengan tokoh desa yang memiliki daftar nama orang-orang yang dituduh simpatisan PKI. Sebelum dieksekusi, mereka diintrogasi di markas militer setempat. Tentu saja dengan siksaan dan pukulan yang tak jarang menyebabkan korban terluka dan pingsan. Mereka yang sudah tidak berdaya ini kemudian di "bon" untuk dieksekusi di sebuah tepian sungai di Klaten. Eksekusi dilakukan pada tengah malam. Pria wanita, tua muda, PKI Atau yang dituduh PKI semua dihabisi disini dihadapan regu tembak. Mayatnya kemudian dibuang di kali. Itulah mengapa film ini dinamakan Tragedi Kali Abang.

Film ini mencoba untuk berdiri dalam posisi yang netral. Tidak memihak manapun melainkan dibuat berdasarkan Based in True Story. Film ini bukan hanya sekedar untuk memenuhi nilai mahasiswa dan sebagai produk mata kuliah. Namun untuk kembali mengingatkan perlunya sebuah pelurusan sejarah tentang peristiwa kelam pada pertengahan 1965 itu dan penggambaran situasinya di daerah-daerah. Sebab selama ini film dari periode waktu serupa yang ditayangkan secara luas seperti Film garapan Arifin C Noer Gerakan 30 September PKI hanya terpusat kekacauan masyarakat di pusat atau kota-kota besar saja. Well....film ini memang bukan dibuat secara professional, apalagi lulus sensor dari LSFN. Juga tidak mengedepankan sisi hiburan, melainkan mengendapkan sejarah dan peristiwanya. Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, namun yang sudah umum dan mudah dimengerti. Tapi anda bisa bayangkan Film ini dibuat hanya 2 bulan oleh kurang lebih 40an mahasiswa yang bukan spesialisasi mahasiswa Perfilman. Applaus!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun