Mohon tunggu...
Yan Rijal
Yan Rijal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Humas, Pemadam Kebakaran Apa Tukang Bersih?

12 Januari 2017   20:00 Diperbarui: 12 Januari 2017   20:08 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran Humas atau Public Relations (PR) masih dianggap sebelah mata. Ibarat ‘tukang cuci’ Humas baru diturunkan ketika situasi genting. Humas juga sering dicap gagal jika ada serangan mendadak kepada instansi, perusahaan atau lembaga negara.

Tapi, Humas tidak pernah dikatakan berhasil jika citra perusahaan, instansi atau lembaga negara positif. Begitulah suka duka para penjaga citra. Padahal jika ingin jujur, peran Humas dalam memoles citra tidak mudah. Humas harus bergaya lentur dan mampu menghadapi situasi genting yang terjadi di eksternal maupun internal.

Humas juga harus siap dijadikan bemper untuk mencuci citra-citra negatif. Bisa Anda bayangkan jika sebuah perusahaan, instansi atau lembaga negara tidak ada Humas-nya. Ada persepsi dangkal yang sering terjadi. Humas hanya mengurus urusan wartawan...???

Dikutip dari Fank Jefkins (1992:9), kalau Humas adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi yang terencana, baik itu kedalam maupun keluar, antara suatu organisasi dengan khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang spesifik yang berlandaskan saling pengertian.

Lembaga Public Relations di Amerika (Colin Coulson-Thomas.1993:3) mendefinisikan public relations sebagai usaha yang direncanakan secara terus-menerus dengan sengaja, guna membangun dan mempertahankan pengertian timbal-balik antara organisasi dan masyarakatnya. Jadi naïf, jika Humas hanya dijadikan sebagai tukang cuci atau pemadam kebakaran.

Di era digital dan media sosial, sebenarnya Humas bukan hanya menjadi pemadam kebakaran dan tukang cuci, tapi perannya bisa dijadikan sebagai ujung tombak. Jika di perusahaan bisa memdongkrak penjualan produk. Karena, jika imej produk positif tentunya penjualan akan naik.

Jika di institusi pemerintahan atau lembaga negara, peran Humas bisa mengukur kebijakan atasannya seperti Dirjen, Irjen hingga Menteri di masyarakat. Apakah positif atau negatif?  

Blunder dan Blunder…?

Tercatat 2016-2017 ada beberapa kegagalan perusahaan, instansi atau lembaga negara dalam memfungsikan Humas. Kegagalan ini tentunya bisa melunturkan imej dan menjadi alat bully. Contohnya kasus Sari Roti. 

Pasca demo 212, Produsen Sari Roti, PT Nippon Indosari Corpindo Tbk, membantah terlibat dalam aksi bagi-bagi roti saat aksi 2 Desember 2016 di Monas, Jakarta Pusat. Bagi-bagi roti gratis saat itu merupakan aksi dari konsumen. Pernyataan tersebut disampaikan PT Nippon Indosari Corpindo TBK dalam rilisnya yang diunggah di website resmi, Selasa (6/12/2016). Sari Roti sempat menjadi trending topicurutan satu di Twitter saat itu.

 Diketahui, saat aksi 2 Desember, banyak pedagang gerobak Sari Roti berjejer dan membagi-bagikan roti secara gratis alias tidak dipungut biaya. Pihak Sari Roti menyatakan aksi itu bukan dari mereka sebagai produsen.

Langkah klarifikasi tersebut bisa disebut blunder dan blunder. Karena, muncul ajakan boikot agar tidak membeli Sari Roti. Dampak boikot juga menggoyang penjualan. Mengutip data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (7/12/2016), hingga pukul 11.01 waktu JATS, saham ROTI anjlok 20 poin (1,32%) ke Rp 1.500.

 Saham ROTI sempat menyentuh level terendahnya di Rp 1.500 dan tertingginya di Rp 1.525. Saham ROTI ditransaksikan sebanyak 64 kali dengan total volume perdagangan sebanyak 314 saham senilai Rp 47,4 juta. Harusnya, tidak usah secara terbuka melakukan klarifikasi.

Kalaupun ada instansi atau lembaga negara yang memprotes kenapa Sari Roti bagi-bagi roti tinggal jelaskan saja dan tak perlu secara terbuka ke publik.  Apalagi produk yang diterbitkan emiten berkode saham ROTI adalah produk konsumer yang pasti tetap dikonsumsi publik dan sifatnya habis terpakai.

Fungsi dan peran Humas yang elegan adalah sebaiknya jangan menciptakan perang. Apalagi, jika Anda tidak mempunyai kekuatan penuh sama saja bunuh diri.

Contoh kasus lainnya yakni soal harga cabai yang naik. Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita melakukan blunder. Saat ditanya wartawan soal kenaikan harga cabai, dia menyebut mengimbau  agar masyarakat dapat menanam cabai sendiri di pekarangan rumahnya, dan beralih untuk mengonsumsi cabai kering.

Pernyataan Menteri Perdagangan ini langsung menimbulkan reaksi. Hujan bully di medsos pun terjadi hingga menimbulkan meme-meme kocak. Seharusnya, ketika ada isu genting dan sensitif Humas harus terus mengawal dan mendampingi menteri-nya.

Jika terjadi blunder atau keseleo lidah saat wartawan wawancara menteri, Humas harus buru-buru melakukan klarifikasi. Saya yakin, jika Humas di Kementerian Perdagangan bergerak cepat saat sang menteri blunder, istilah menanam cabai sendiri tidak akan menjadi alat bully. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun