Mohon tunggu...
Rihat Hutagalung
Rihat Hutagalung Mohon Tunggu... Auditor - Rihat Hutagalung

Menulis sesuatu yang mungkin bermanfaat bagi orang lain (Blog pribadi : http://rihat-online.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Buku: Teologi Kewirausahaan

7 Desember 2010   01:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:57 2382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RESENSI BUKU

JUDUL BUKU: TEOLOGI KEWIRAUSAHAAN

SUB JUDUL : Konsep dan Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali

PENULIS: Made Gunarakswati Mastra-ten Veen

PENERBIT:Taman Pustaka Kristen dan Centre for Business Ethics and

Profesionalism ,Universitas Kristen Duta wacana

JLH HALAMAN: 252

CETAKAN PERTAMA : 2009

Tahun 2000, kami mengikuti Kongres Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Denpasar,Bali. Kongres tersebut diadakan di sebuah hotel di pinggir pantai Seminyak. Hotel tersebut bernama Hotel Dhyana Pura, milik sebuah gereja di Bali, yakni Gereja Kristen Prostestan di Bali (GKPB). Ada keheranan dan bercampur kagum di hati saya saat itu. Heran karena ada gereja yang memiliki Hotel, suatu tempat yang berkonotasi negative bagi sebagian besar umat. Namun ada rasa kagum karena sebuah gereja bisa memiliki asset yang begitu mahal dan berharga di tengah-tengah situasi banyak lembaga keumatan yang mengalami kesulitan finansial.

Seacara kebetulan, 10 tahun kemudian saya menemukan buku yang membahas tentang praktik bisnis di GKPB, khususnya mengenai Hotel Dhyana Pura. Buku berjudul ‘Teologi Kewirausahaan’ dengan subjudul Konsep dan Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali ini menjelaskan secara lengkap latar belakang keterlibatan GKPB dalam praktik bisnis di Bali, dasar teologi yang melandasi pemikiran tersebut serta pro-kontra di antara pemimpin jemaat mengenai praktik gereja berbisnis tersebut. Yang membuat buku ini istimewa adalah bahwa penulis adalah anak kandung dari mantan Ketua Sinode Gereja GKPB , Pdt. DR. Em. I Wayan Mastra, yang memimpin GPKB dari tahun 1972 hingga 2000. DR. I Wayan Mastra lah yang memberikan landasan teologis praktis bisnis Gereja Bali dari awal hingga berkembang seperti saat ini.Buku ini sendiri diangkat dari tesis penulis di pasca Sarjana Fakultas Teologi Universitas Duta Wacana,Yogyakarta.

Pada bagian pertama , buku ini menjelaskan latar belakang sejarah, kebijakan-kebijakan serta usaha-usaha bisnis gereja Kristen protestan di Bali. Sejarah kekristenan sendiri di Bali sudah dimulai dari tahun 1863. Namun kemudian ada pelarangan dari pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga stabilitas karena adanya resistensi penduduk setempat yang mayoritas Hindu. Tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda kembali memberi ijin kepada penginjil Cina yang bekerja sebagai penginjil di kalangan etnis Tionghoa Bali. Tahun 1933, penginjilan kembali dilarang karena adanya tekanan dari masyarakat Hindu Bali yang tidak senang dengan perpindahan orang-orang Bali ke agama Kristen.Namun saat itu sudah ada sekitar 200 orang yang dibaptis oleh penginjil Cina tersebut.

Tahun 1933, penginjil dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jawa Timur dan dengan bantuan dari misiolog dari Belanda mengumpulkan orang Kristen Bali dan mempersiapkan mereka menjadi gereja yang mandiri. Tahun 1948 berdirilah Gereja Kristen Protestan Bali” dan kemudian tahun 1962 diubah menjadi “Gereja Kristen Protestan di Bali’. Tahun 1963, akibat letusan Gunung Agung, banyak lahan pertanian subur menjadi kering dan tidak dapat ditanami. Kemiskinan melanda Bali. Gereja Bali mendapat bantuan dari Church World Service untuk menolong korban bencana berupa gandum, bahan makanan dan pakaian. Sebagian penduduk kemudian tertarik dan beralih ke agama Kristensehingga mereka disindir oleh masyarakat Hindu sebagai “orang Kristen gandum’ (hal 9). Akibat cemoohan penduduk, sebagian ada yang kembali ke agama semula, tapi ada juga yang bertahan dan bertumbuh imannya.

Masa pergolakan tahun 1960-1965 menimbulkan banyak masyarakat Hindu yang pro PKI yang beralih masuk ke agama Kristen karena menganggap agama Kristen lebih menampung nilai-nilai sosialis komunis. Namun orang Kristen sendiri juga dibenci PKI yang ateis. Banyak orang Kristen yang kemudian terbunuh pada masa penumpasan PKI. Agama Kristen menjadi sasaran kebencian masyarakat yang anti komunis. Tahun 1965-1971 merupakan masa krisis bagi gereja Bali.

Awal tahun 1972Gereja Bali mengalami defisit sehingga tidak mampu membayar gaji pendetanya sehingga hidupnya serba berkekurangan. Jemaat juga mengalami kesulitan ekonomi dan umumnya berprofesi sebagai petani dan pekerja kasar. Peralihan menjadi agama Kristen membuat mereka kehilangan harta benda,warisan dan dikucilkan masyarakat. Anak-anak muda generasi kedua sulit mendapat pekerjaan di pemerintahan karena mereka Kristen. Di sektor pariwisata juga tidak mudah untuk masuk karena mereka tidak mampumembiayai sekolah pariwisata yang mahal sehingga mereka tidak bisa bekerja di Hotel atau biro perjalanan, Mereka juga tidak bisa membuka usaha sendiri karena tidak memiliki modal dan jaminan ke bank untuk mendapat pinjaman. Kondisi seperti inilah yang membuat pengurus Gereja untuk fokus memikirkan peningkatan perekonomian gereja dan jemaat.

Kebijakan sinode tahun1 1972 memutuskan untuk menjadikan Gereja Bali menjadi gereja yang mandiri dan kontekstual dengan budaya Bali.. Misi kontekstualisasinya adalah mengupayakan kekristenan menjadi bagian dari masyarakat dan memberikan makna baru kehidupan tanpa menghilangkan budaya dan lingkungan dimana mereka tinggal (hal 17). Misi kontekstualisasi ini diwujudkan dalambentuk penggunaaan elemen-elemen budaya Bali yang berestetika tinggidalam gedung gereja, seni tari dan musik dan mengembangkan usaha-usaha bisnis yang terkait dengan pariwisata untuk mengembangkan perekonomian dan pelayanan gereja.

Kemudian dibentuklah departemen-departemen yang membawahi Yayasan-yayasan yang melayani 3 kebutuhan

[caption id="attachment_76613" align="alignleft" width="300" caption="Hotel Dhyana Pura (Sumber:Gogle)"]

12916835911211707054
12916835911211707054
[/caption] manusia ,yaitu kebutuhan otak (kepala), kebutuhan hati, dan kebutuhan perut. Kebutuhan kepala ditangani Departemen kesaksian dan Pengembangan (Marturia) melalui Yayasan Harapan yang mengelola pendidikan dari TK hingga SMA dan juga panti asuhan. Kebutuhan hati ditangani oleh Departemen Persekutuan dan Pembinaan (Koinonia) melalui Yayasan Dhyana Pura yang mengelola Hotel Resor Dhyana Pura dan Wisma Nangun Kerti di pegunungan Bedugul,Sekolah Perhotelan dan Pariwisata (Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM), Jasa Penyelenggaraan Pernikahan bagi orang-orang asing.

Sementara kebutuhan perut ditanganiDepartemen Pelayanan dan Usaha menggunakan Yayasan Maha Bhoga Marga yang menyediakan fasilitas kredit dan program pembinaan untuk peningkatan ekonomi masyarakat golongan ekonomi rendah. Jenis-jenis usaha di bawah yayasan ini antara lain Usaha Permebelan (1994) ,yang melayani kebutuhan mebel untuk gereja, hotel dan kantor, Usaha Percetakan (1995), Bank Perkreditan Rakyat dan Pinjaman Modal Sarana Usaha (1990). PMSU memberikan pinjaman modal bagi peserta yang telah mengikuti pelatihan keterampilan seperti pertukangan,menjahit,dll untuk membeli alat kerja. Bila mereka telah berhasil, mereka kemudian mendapatkan kredit dari BPR untuk mengembangkan usahanya.

Keterlibatan Gereja Bali dalam praktik bisnis ini tentu saja berdampak positif bagi peningkatan keuangan dan asset gereja. Sebagai perbandingan, terlihat dari datapertumuhan kekayaan GKPB tahun 2003-2007, tahun 2003 aset GPKB bernilai Rp 77.616.789.10,- tahun 2007 mejadi Rp 113.075.002.669,-. Hutang, tahun 2003 Rp 11.270.836.210,- dan tahun 2007 Hutang Rp 96.336.344.491,-Sementara modal tahun 2003 sebesar Rp 66.345.952.893,- dan tahun 2007 menjadi Rp 96.336.344.491.Rata-rata pertumbuhan asset dalam setahun sebesar9,92%, sementara pertumbuhan modal 9,86% dan pertumbuhan utang 11.36% (hal 49)

Bagian kedua buku ini membahas Teoligi Ekonomi Gereja Kristen protestan di Bali. Pertama-tama di bahas Perspektif teologi Dr. I Wayan Mastra. Pemikiran teologi Mastra terbagi dua, satu untuk konteks Bali dan kedua dengan konteks keindonesiaan.Dalam konteks Bali, Mastra menyampaikan 8 pokokpikirannya. Diantaranya adalah tentang pentingya kemandirian untuk jati diri dan martabat. Menurut Mastra, Gereja harus membuat program-program yang memberdayakan orang untuk mandiri dan nantinya bisa menolong orang lain. Tujuannya adalah untuk mengangkat martabat manusia supaya bisa dihargai di masyarakat..

Kedua, Orang Kristen Diberkati untuk bisa memberkati.Mastra merefleksikan pikirannya ini dari panggilan Allah kepada Abraham…”Aku akanmembuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkauserta membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat..olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej 12:2-3). Pokok pikiran ketiga, senanda dengan kedua, yaitu mengembangkan sikap hidup lebih suka memberi daripada menerima (Prinsip Tangan Di Atas).Mastra menekankan bahwa orang yang diberkati adalah orang yang memberi. Seperti tangan, kita harus membalikkan telapak tangan untuk bisa memberi, bukan menengadahkan tangan ke atas.

Keempat, adanya Kesatuan antara tubuh ,roh dan Jiwa atau pikiran hati dan perut. Tuhan menciptakan manusia tidak hanya dengan kebutuhan rohani tapi juga kebutuhan jasmani.Kelima, Mastra juga mengembangkan apa yang disebutnya ‘Teolog Perut’. Ia menekankan pentingnya mengembangkan perekonomian jemaat dengan alasan bahwa ‘perut yang kosong tidak mempunyai telinga. Artinya, jika jemaat masih mengalami pergumulan dalam kebutuhan hidup sehari-hari, maka akan sulit bagi mereka menerima Firman Tuhan. Hal ini mungkin relevan dengan latar belakang jemaat gereja Bali yang berasal dari kaum miskin dan tersisihkan dalam struktur masyarakat Bali. Mastra berpendapat orang Kristen seharusnya tidak hidup dalam kemiskinan tapi hidup sebagai ‘kapitalis’ dalam arti selalu melipatgandakan modal sebagaimana perumpaaan Tuhan Yesus tentang pelipatgandaan Talenta.. Mastra juga menekankan pentingnya pendeta memberi contoh dengan juga terlibat dalam berwirausaha sehingga pendeta tidak menjadi beban bagi jemaatnya.

Keenam, Mastra juga menekankan peran konteks budaya dan kekayaan local dalam pengembangan ekonomi jemaat dan gereja. Dalam konteks Bali, jemaat dan gereja harus memanfaatkan pariwisata untuk kemajuan ekonomi mereka.

Selain pemikiran Mastra, buku ini juga memuat pemikiran Tokoh-tokoh gereja Bali lainnya mengenai pro-kontra keterlibatan gereja Bali dalam bisnis. Prof.DR. I Wayan Waspada, mantan Bishop GPKB ,misalnya mengingatkan agar gereja tidak terjebak dalam usaha memperkaya diri yang tak berkesudahan. Ia juga mengingatkan bahaya penyalahgunaan ekonomi gereja untuk kepentingan diri sendiri atau kebanggan diri yang dapat mengalihkan perhatian gereja dari misi utamanya yaitu penginjilan Prof. Waspadadan Suyaga Ayub juga mengkritik teologi Mastra bahwa seseorang harus menjadi kaya dahulu untuk bisa memberkati. Orang miskin pun,menurut mereka, bisa memberkati. (hal 100-101). Teologi Mastra dianggap telalu menekankan berkat jasmaniah dan mengabaikan berkat rohaniah.

Namun Mastra sendiri menanggapi bahwa kegiatan bisnis gereja adalah rohaniah karena semua pemikiran keiatan bisnis gereja adalah rohaniah karena semua pemikiran maupun kegiatan bisnis gereja didasari oleh usaha penyerahan diri dan membangun hubungan baik dengan Allah.Hubungan yang baik dengan Allah itulah yang menyebabkan hidup seseorang dianugerahi dengan berbagai bentuk berkat, termasuk di dalamnya berkat materi.

Kesimpulan dan Saran

Buku ini sangat penting dibaca oleh para pendeta, penatua dan jemaat gereja maupun organisasi keagamaan pada umumnya sebagai referensi bagaimana mengembangkan perekonomian umat dan organisasi keagamaan. Pemikiran-pemikiran Mastra ini . sesungguhnya sangat baik diterapkan di gereja-gereja Indonesia lainnya dengan mengadaptasi bisnis yang dilakukan sesuai konteks lokal masing-masing. Mengingat betapa banyaknya daerah-daerah yang mayoritas Kristen yang menjadi daerah kemiskinan seperti Tapanuli, Nias, NTT dan Papua, maka praktik bisnis Gereja bali yang dipaparkan dalam buku ini bisa menjadi pedoman untuk mengangkat jemaat dan gereja atau dalam konteks yang lebih luas warga Negara Indonesia dari jerat kemiskinan menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan bermartabat.

Sedikit kekurangan buku ini adalah tidak ada lampiran foto mengenai unit-unit usaha yang disebutkan dalam buku inimulai dari awal berdiri hingga perkembangan terakhir agar pembaca bisa lebih meresapi kemajuan unit usaha maupun gereja Bali. Demikian juga foto Pdt. I Wayan Mastra sebagai tokoh utama perkembangan gereja Bali tidak disertakan sehingga bagi orang awam di luar gereja Bali tidak bisa mengenali sosok tersebut. Namun demikian, buku ini telah berhasil memberikan informasi kepada pembaca mengenai sejarah dan konsep teologis dalam praktik bisnis gereja Bali sebagaimana dicantumkan dalam sub judul buku ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun