Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Anak di Denmark, Australia, dan Selandia Baru

5 Desember 2019   07:07 Diperbarui: 5 Desember 2019   07:14 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dan orangtua (pixabay)

Tulisan ini adalah rangkuman dari pemaparan tiga pakar pendidikan yang menjadi pembicara dalam dua seminar yang berbeda, di Jakarta, akhir November 2019. Seminar tersebut satu rangkaian dengan kegiatan Hari Guru Nasional. Penuturan mereka sangat berharga, tapi media massa tak banyak menulisnya. Wartawan yang datang pada seminar itu lebih fokus menulis pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim.

Saya mencoba meringkasnya, mungkin berguna bagi para guru di seluruh Indonesia yang tidak diundang pada acara itu, khususnya bagi penggemar Kompasiana. 

Penataan PAUD di Denmark

Saya mulai dari penuturan Rasmus Abildgaard Kristen, Duta Besar Denmark untuk Indonesia. Dia menyatakan Denmark sudah menata pendidikan untuk menghadapi Era Industri 4.0. Pemerintah Denmark melakukan konsolidasi dengan berbagai kalangan seperti industri, pendidik, peneliti, dan sebagainya. Intinya, lulusan dari sekolah harus sinkron dengan kebutuhan masyarakat khususnya industri. 

Penyesuaian pendidikan bukan hanya pada perguruan tinggi misalnya soal riset dan teknologi.  Denmark juga membenahi pendidikan anak usia dini agar siap menghadapi perubahan besar-besaran. 

Rasmus mengatakan 80 persen siswa tidak tahu mau bekerja apa di masa datang karena situasinya tidak pasti. Kita juga tidak tahu skill apa yang benar-benar dibutuhkan pada masa nanti. Makanya siswa harus fleksibel. Siswa diminta mampu berpikir kritis, kreatif, bisa koordinasi, mengenal  kecerdasan emosional, mampu negosiasi, dan membekali dengan kemampuan kognitif.

Pemerintah Denmark juga mengubah kurikulum khususnya untuk siswa 0-6 tahun yang berisi tentang berbagai aspek. Antara lain tentang pengembangan kepribadian, keterampilan sosial, komunikasi dan bahasa, budaya dan sosial, dan sebagainya.

Di Denmark, anak bebas berkreasi dan mengembangkan rasa ingin tahu mereka sendiri. Sekolah usia dini memiliki banyak permainan. Anak-anak dibiarkan naik sepeda, memanjat pohon, dan sebagainya. Mereka dilatih untuk bertanggung jawab kepada mereka sendiri. 

Kepala Sekolah Australia Ikut Menari

Profesor Jane Wilkinson dari Monash University, menceritakan Australia sebenarnya negara multi budaya sama seperti Indonesia. Sepertiga penduduk Australia bukan keturunan Inggris. Di sana ada 300 bahasa. 

Di Australia, kepala sekolah dituntut mengembangkan karakter bukan hanya meningkatkan nilai ujian siswa. Jane pernah meneliti sekolah kecil yang memiliki siswa dari keluarga pengungsi di salah satu negara bagian Australia. Pada sekolah itu, fasilitas bermain tidak ada. Kepala sekolah kemudian mencari ide untuk menciptakan taman bermain dengan menggunakan barang yang ditemukan di sekitar. Guru membiarkan siswa bermain dengan batu batako.

Mereka membentuk tanda cinta, gambar bunga menggunakan batako serta benda apa saja yang ada. Intinya, kepala sekolah dan guru harus kreatif menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak untuk berkembang. Dengan cara bermain, siswa bisa melatih tangan, kaki, dan bagian tubuh lainnya bersama panca indra. Pada sekolah tersebut, anak-anak juga naik pohon, berlarian dan sebagainya. Prinsipnya, gunakan benda apa saja yang ada di sekitar untuk menciptakan kreativitas anak-anak.

Di Australia, guru dan kepala sekolah juga ikut bermain, menari, dan bernyanyi bersama siswa. Pada hari tertentu, anak-anak menggunakan baju adat masing-masing sambil mempelajari budaya. Peristiwa itu bagi anak-anak akan membawa kesan positif hingga dewasa. 

Guru Selandia Baru Pahami Kebiasaan Siswa di Rumah

Pakar pendidikan dari Selandia Baru, Carmen Dalli punya cerita lain lagi. Ia menyatakan Selandia Baru memiliki pendidikan usia dini yang terintegrasi sejak 1996. Negara itu memiliki lembaga pelatihan guru pengajar siswa usia 0-5 tahun. Dalam kurikulum baru itu ada perubahan paradigma yang sangat fundamental. Pendidikan menekankan pada pengembangan siswa secara holistik yang melibatkan sekolah, orangtua dan masyarakat. Selandia Baru  memiliki pusat pengembangan anak. Ada banyak tempat di mana anak-anak bisa bermain dengan leluasa. Taman bermain dibuat sedemikian rupa sehingga  anak berkomunikasi dengan orang dewasa di sekitarnya. Orang dewasa juga diminta peduli dengan perkembangan anak-anak.

Guru dan orangtua harus memahami bagaimana respon anak-anak untuk membantu mereka tumbuh berkembang. Orangtua dan guru harus tahu apa yang diinginkan anak. Guru harus berkonsultasi dan berkomunikasi dengan orangtua. 

Kadang orangtua mereka khawatir dengan anak mereka. Misalnya mengapa anak patuh kepada guru tapi tidak kepada orangtua. Guru harus tahu apa kegiatan rutin siswa di rumah. Apa alat permainan di rumah, bagaimana kebiasaan tidurnya,  dan sebagainya. Dengan demikian guru bisa memahami anak dengan lebih baik. Kerjasama orangtua dan guru harus berlangsung terus menerus.

Berdasarkan data OECD, partisipasi anak di bawah usia tiga tahun yang mengikuti pendidikan di Selandia Baru mencapai 45 persen. Angka itu sudah cukup tinggi, tapi masih lebih rendah dibandingkan Belgia, Denmark dan Islandia yang memiliki angka partisipasi sekitar 60 persen.  Untuk Indonesia, partisipasi anak di bawah tiga tahun yang mengikuti pendidikan masih rendah sesuai data OECD per 4 September 2018. Itu tantangan buat insan pendidikan di Indonesia untuk memperbaikinya. 

Semoga bermanfaat.

Sekian dulu dari saya, Rihad Wiranto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun