Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Anak di Denmark, Australia, dan Selandia Baru

5 Desember 2019   07:07 Diperbarui: 5 Desember 2019   07:14 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dan orangtua (pixabay)

Mereka membentuk tanda cinta, gambar bunga menggunakan batako serta benda apa saja yang ada. Intinya, kepala sekolah dan guru harus kreatif menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak untuk berkembang. Dengan cara bermain, siswa bisa melatih tangan, kaki, dan bagian tubuh lainnya bersama panca indra. Pada sekolah tersebut, anak-anak juga naik pohon, berlarian dan sebagainya. Prinsipnya, gunakan benda apa saja yang ada di sekitar untuk menciptakan kreativitas anak-anak.

Di Australia, guru dan kepala sekolah juga ikut bermain, menari, dan bernyanyi bersama siswa. Pada hari tertentu, anak-anak menggunakan baju adat masing-masing sambil mempelajari budaya. Peristiwa itu bagi anak-anak akan membawa kesan positif hingga dewasa. 

Guru Selandia Baru Pahami Kebiasaan Siswa di Rumah

Pakar pendidikan dari Selandia Baru, Carmen Dalli punya cerita lain lagi. Ia menyatakan Selandia Baru memiliki pendidikan usia dini yang terintegrasi sejak 1996. Negara itu memiliki lembaga pelatihan guru pengajar siswa usia 0-5 tahun. Dalam kurikulum baru itu ada perubahan paradigma yang sangat fundamental. Pendidikan menekankan pada pengembangan siswa secara holistik yang melibatkan sekolah, orangtua dan masyarakat. Selandia Baru  memiliki pusat pengembangan anak. Ada banyak tempat di mana anak-anak bisa bermain dengan leluasa. Taman bermain dibuat sedemikian rupa sehingga  anak berkomunikasi dengan orang dewasa di sekitarnya. Orang dewasa juga diminta peduli dengan perkembangan anak-anak.

Guru dan orangtua harus memahami bagaimana respon anak-anak untuk membantu mereka tumbuh berkembang. Orangtua dan guru harus tahu apa yang diinginkan anak. Guru harus berkonsultasi dan berkomunikasi dengan orangtua. 

Kadang orangtua mereka khawatir dengan anak mereka. Misalnya mengapa anak patuh kepada guru tapi tidak kepada orangtua. Guru harus tahu apa kegiatan rutin siswa di rumah. Apa alat permainan di rumah, bagaimana kebiasaan tidurnya,  dan sebagainya. Dengan demikian guru bisa memahami anak dengan lebih baik. Kerjasama orangtua dan guru harus berlangsung terus menerus.

Berdasarkan data OECD, partisipasi anak di bawah usia tiga tahun yang mengikuti pendidikan di Selandia Baru mencapai 45 persen. Angka itu sudah cukup tinggi, tapi masih lebih rendah dibandingkan Belgia, Denmark dan Islandia yang memiliki angka partisipasi sekitar 60 persen.  Untuk Indonesia, partisipasi anak di bawah tiga tahun yang mengikuti pendidikan masih rendah sesuai data OECD per 4 September 2018. Itu tantangan buat insan pendidikan di Indonesia untuk memperbaikinya. 

Semoga bermanfaat.

Sekian dulu dari saya, Rihad Wiranto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun