Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menangkal Radikalisme dari Bangku Sekolah

20 November 2019   07:07 Diperbarui: 20 November 2019   07:13 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaum muslimin sedang menjalankan salat (Kompas.com)

Di zaman Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, penguatan pendidikan karakter (PPK) sangat digalakkan. Saya sempat mengunjungi beberapa sekolah yang serius menerapkan penguatan karakter ini. Di sebuah sekolah dasar di Kendari, Sulawesi Tenggara, saya menyaksikan anak-anak dibiasakan sholat dhuha. Karena belum memiliki masjid, anak-anak shalat di halaman sekolah. Pada sore hari lantunan ayat-ayat AlQuran menggema melalui suara anak-anak yang sedang belajar membaca kitab suci.  Di sekolah lain yang saya kunjungi seperti di Riau, Bali, dan lainnya, sekolah menerapkan sebuah tradisi keagamaan yang kuat. 

Secara umum, sekolah berusaha untuk menerapkan pendidikan karakter. Seperti terlihat di hampir sekolah negeri ada tradisi guru menyambut murid yang datang dan menyalami mereka. Saat ini, pendidikan karakter juga masih menjadi isu utama. Ada lima karakter utama yang digalakkan yakni nasionalis, religius, mandiri, integritas, dan gotong royong. 

Pendidikan karakter sangat penting karena adanya beberapa tantangan di dunia pendidikan seperti bullying, narkoba, pornografi, dan radikalisme. Saya ingin menyoroti tentang radikalisme berlatar belakang agama. September 2019, Kompas.com memuat berita tujuh kepala sekolah di Jawa Tengah terpapar radikalisme. Dalam berita ini tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan radikalisme. Tapi berita tentang radikalisme di sekolah sering bermunculan.

Saya sangat risau juga karena radikalisme seringkali menyusup tanpa sadar melalui berbagai pintu. Saya baca dari buku Generasi Z: Kegalauan Identitas Keagamaan, terbitan UIN Jakarta 2018, sumber radikalisme ternyata dipicu banyak hal termasuk sosial ekonomi. Ini berarti tugas sekolah untuk mencegah radikalisme tidak bisa sendirian melainkan dengan orangtua dan masyarakat.  

Saya berpendapat, sekolah harus merumuskan konten pelajaran agama terkait pencegahan radikalisme yang disusun bersama berbagai kementerian dan lembaga. Beberapa hal harus dirumuskan dengan jelas dan tegas, seperti bagaimana hormat menghormati dan toleransi antar umat beragama di sekolah bisa diterapkan. Banyak kearifan lokal terkait model hubungan umat beragama. Model kegiatan toleransi yang semula mampu merekatkan masyarakat sayang sekali jika ditinggalkan. 

Panduan umum pencegahan radikalisme harus dibuat dari pusat, tapi varian kegiatannya bisa disesuaikan dengan kearifan lokal. Harus ada usaha sungguh-sungguh untuk menggali praktik baik tentang bagaimana hubungan antara umat beragama itu dilaksanakan di sekolah. Dengan adanya pedoman yang jelas, maka pelaksanaan kegiatan tersebut tidak sepenuhnya tergantung inisiatif guru secara perseorangan. 

Pedoman tersebut, menurut saya sangat perlu tanpa dimaknai sebagai pembatasan. Beberapa sekolah yang saya kunjungi dalam rangka penulisan buku, kebanyakan sudah berusaha menerapkan toleransi. Selain ada mushola, beberapa sekolah juga menyediakan ruang ibadah untuk agama lain. Di Bali, sekolah yang saya kunjungi memiliki ruang shalat meski sebagian besar muridnya beragama Hindu. 

Konten Pembelajaran

Salat bersama di sekolah (kompas.com)
Salat bersama di sekolah (kompas.com)
Selain ditunjukkan oleh adanya  sarana dan prasarana, konten pelajaran terkait toleransi juga perlu ditinjau dan lebih ditekankan lagi. Mengapa toleransi penting, karena radikalisme ditandai dengan sikap tidak menghormati perbedaan. Kalau soal ini saya sama sekali bukan ahlinya. Tapi saya pernah mendengar sebuah ceramah seorang kepala sekolah asal Australia yang menerangkan tentang bagaimana toleransi diajarkan di sana. Kepala sekolah itu diundang ke Jakarta untuk berceramah di depan guru dan tenaga kependidikan berprestasi tahun lalu.

Dia membuat ulasan ringkas tentang perlunya  siswa mengenal agama lain. Ini bukan soal perbandingan ajaran agama, tapi soal pemahaman bahwa ada agama dan kepercayaan lain di luar yang kita anut. Teknis pembelajarannya saya tidak tahu, karena saya belum pernah diundang ke Australia (hehe). Tapi, anak-anak kita perlu dikasih tahu, bahwa kita hidup bersamaan dengan orang berbeda kepercayaan. Kita juga bekerja sama dalam banyak hal dengan mereka. Kita berbagi tempat, berbagi waktu, berbagi pekerjaan, dan sebagainya. 

Bahkan meski dalam keyakinan yang berbeda, kita memiliki banyak kesamaan khususnya dalam hal hubungan antara manusia. Pertanyaannya, dalam hubungan dengan orang yang berbeda keyakinan, kita mau mempertajam perbedaan atau menjalin berbagai kesamaan? Pakar di bidang pendidikan pasti lebih tahu tentang konten pembelajaran seperti apa yang tepat untuk meningkatkan keharmonisan hubungan antar siswa yang berbeda keyakinan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun