Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tantangan Serius di Balik Impor Cangkul

7 November 2019   12:12 Diperbarui: 7 November 2019   19:21 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani dan cangkul (kompas.com)

Cangkul tiba-tiba menjadikan Presiden Joko Widodo tampak geram. Presiden heran kenapa Indonesia masih impor cangkul. "Urusan pacul, cangkul, masa masih impor?" kata Jokowi.

Bikin cangkul mestinya bisa dibuat di Indonesia, kok masih impor?

Hal itu dikemukakan Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Tahun 2019, Rabu (6/11/2019). Presiden kemudian meminta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk memprioritaskan barang produksi dalam negeri ketimbang barang impor. 

Mengapa Jokowi marah dengan impor cangkul? Inilah sebabnya. Kenyataan Indonesia terlalu banyak impor sehingga transaksi perdagangan defisit. Angka defisit perdagangan memang cenderung naik. Bahkan tahun lalu defisit pernah memegang rekor terbesar.

Poin yang harus dipikirkan bukan fokus perlu tidaknya impor cangkul, tapi bagaimana kita memiliki produk unggulan komparatif yang bisa bersaing dengan buatan luar negeri.

Saya rasa Jokowi juga membuat deskripsi cangkul hanya untuk ilustrasi saja. Intinya kita harus jangan tergantung impor. Kita justru harus memperkuat kemampuan untuk ekspor.

Kalau kita fokus ke cangkul, kita gagal fokus. Menurut data BPS, nilai impor cangkul sepanjang 2019 ini hanya 93.155 dolar AS atau setara Rp 1,3 miliar (kurs Rp 14.000). Angka yang kecil, jadi jangan fokus di sini. Fakta ini hanyalah gambaran besar tentang ketergantungan kita kepada produk luar negeri. 

Dalam hal ini, ada baiknya Pak Jokowi mengecek supermarket yang menjual perkakas, alat-alat rumah tangga dan sejenisnya. Ketika saya masuk ke sana, nyaris semuanya buatan luar negeri khususnya China. 

Saya bersama istri kebetulan juga menjual fashion di online. Saya menjual produk UKM dari Bandung. Masalah terbesarnya adalah serbuan impor dari China yang sangat murah sehingga harga sulit bersaing.

Pemerintah China mampu membangun industri berbasis teknologi sehingga produk mereka bisa dijual begitu murah di Indonesia. Padahal produk mereka harus diangkut dari China ke Indonesia dengan kapal. 

Kalau kita fokus kepada produk murah, maka membeli produk China adalah tepat. Tapi membeli produk dalam negeri akan memberi dampak lebih luas. Masalahnya, harga produk dalam negeri cenderung lebih mahal. 

Jadi di sinilah tugas pemerintah untuk memikirkan bagaimana membantu UKM untuk mampu menjual produk tidak terlalu mahal sehingga mampu bersaing. 

Dalam konteks produksi, saat ini tidak ada produk yang 100 persen dibuat di satu negara. Tidak ada pula kebutuhan dalam negeri yang dipenuhi oleh produk sendiri. Jadi ekspor dan impor itu sebuah keniscayaan. Kalau kita menjual produk ke luar negeri ya pasti membeli juga dari negara lain. Masalahnya adalah bagaimana nilai ekspor kita lebih besar dibanding impor. 

Kita harus memilih produk unggulan Indonesia. Apakah cangkul dan alat pertanian bisa menjadi produk unggulan Indonesia? Bisa saja cangkul lebih baik dibeli dari China karena tidak kompetitif buat Indonesia. Kita mungkin bisa berharap dari produk unggulan pertanian untuk bersaing di perdagangan internasional. 

Saya dengar, Indonesia akan mengembangkan buah tropis untuk ekspor ke China, misalnya. Untuk mengembangkan pertanian, tidak semua peralatan dipenuhi dengan produk dari dalam negeri. Bisa saja peralatan cangkul diimpor, tapi produk olahan yang bernilai tambah bisa dibuat di Indonesia dan menjadi andalan ekspor. 

Coba kita lihat dengan impor gandum yang makin besar dari tahun ke tahun. Kita akan defisit besar-besaran kalau impor gandum hanya dikonsumsi di dalam negeri. Gandum yang diimpor sebagian sudah diolah menjadi mie instan dan roti kering yang bisa diekspor. Nah itulah yang harus dikembangkan. 

Bahan baku impor boleh, tapi harus diolah dan diubah menjadi produki andalan ekspor. Jadi kuncinya ada pada nilai tambah yang kita ciptakan pada produk untuk ekspor.

Sama halnya dengan tekstil, kita mengimpor bahan baku dan mengubahnya menjadi produk fashion yang kreatif dan punya nilai tambah tinggi untuk ekspor.

Saat ini eksportir terbesar dunia adalah China, Amerika, Jerman, dan Jepang. Saya catat dari visualcaputalist.com, ekspor China pada 2018 mencapai 2,5 triliun dolar AS, Amerika 1,7 triliun dolar , Jerman 1,6 dolar dan Jepang 748 miliar dolar.

Secara umum mereka unggul dalam ekspor karena nilai tambah yang tinggi pada produknya. China dan Amerika contohnya sama-sama pengekspor mesin. 

Bagi kita mungkin China terkenal dengan produk "murahan", tapi negara itu sesungguhnya mengekspor produk utamanya berupa mesin (48 persen), dilanjutkan dengan tekstil (9,9 persen) dan metal (7,1 persen) serta produk lain dengan persentase lebih kecil. 

Demikian juga dengan Amerika yang mengandalkan ekspor mesin hingga 22 persen, diikuti transportasi (14,9 persen), dan produk kimia (13,7 persen). 

Jadi intinya adalah nilai tambah yang tinggi menjadi andalan pengekspor utama dunia. Mereka bukan pengekspor hasil pertanian atau tambang belaka. 

Saya rasa roadmap produk unggulan mestinya sudah dibuat oleh pemerintah Indonesia. Saat ini Indonesia masih mengandalkan 10 jenis ekspor yakni tekstil dan produk tekstil, elektronika, karet dan produk karet, kelapa sawit, produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, udang, kakao, dan kopi. 

Ekspor kita masih mengandalkan kekayaan alam, sementara peran teknologi tidak dominan. Produk tekstil mengandalkan tenaga yang relatif murah meski mulai dikalahkan Vietnam dan Kamboja. 

Elektronik mengandalkan perakitan. Dalam industri elektronik, perakitan adalah proses yang memiliki nilai tambah relatif terendah. Demikian juga dengan otomotif yang merupakan industri perakitan. Selebihnya kita mengandalkan kekayaan alam. 

Struktur ekspor seperti ini harus diperbaiki terus menerus. Utamanya adalah dengan meningkatkan nilai tambah khususnya di bidang komoditas pertanian dan perkebunan agar tidak diekspor dalam bentuk produk mentah. 

Demikian pula dengan industri tekstil yang bukan saja sebagai penjahit tapi meningkat menjadi industri kreatif dengan desain dan brand ternama agar bergema di tingkat dunia.

Jadi kembali ke masalah cangkul, menurut saya sudah saatnya Indonesia masuk kepada industri peralatan pertanian berskala ekspor. Cangkul sudah terlalu kuno, semantara pada ahli kita di Departemen Pertanian sudah bisa membuat traktor dengan remote.

Ada pula drone untuk menyemprot pestisida. Belum lagi dengan teknologi rekayasa genetika yang mestinya bisa menjadi andalan Indonesia untuk ekspor bibit pertanian berkualitas tinggi dan sebagainya. 

Jadi fokusnya bukan ke cangkul, tapi bagaimana menciptakan produk berteknologi tinggi yang berkualitas ekspor. Itulah yang lebih penting daripada sekadar membicarakan apakah cangkul akan diimpor atau dibuat di Indonesia. 

Sekian dulu dari saya Rihad Wiranto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun