Mohon tunggu...
Rifqi Akbar Athallah Lazuardi
Rifqi Akbar Athallah Lazuardi Mohon Tunggu... Freelancer

Seorang yang belajar menulis lewat artikel online

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "Sore: Istri dari Masa Depan", Jauh Berbeda dengan Web Seriesnya

12 Juli 2025   17:57 Diperbarui: 14 Juli 2025   18:51 1557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum menonton filmnya, saya menyempatkan untuk menamatkan web seriesnya di Youtube. Selain untuk melihat perbedaan antara series dan filmnya, juga untuk memberikan perasaan proses bertumbuh bersama dari segi produksi. 

Sama seperti seriesnya, film ini memiliki premis cerita yang mirip. Jonathan seorang fotografer yang berkelana ke Kroasia, dikejutkan oleh perempuan bernama Sore yang mengaku istrinya dari masa depan. Sembari Sore meyakinkan bahwa memang istrinya dari masa depan, hubungannya dengan Jo mulai memasuki fase konflik.

Di menit awal saat sedang berusaha mencari perbedaannya dengan series dari segi cerita, dialog, akting, dan pengambilan gambar, penonton disejukkan dengan lanskap benua arktik, lautan beku, pegunungan es, beruang kutub. Tapi rasanya hangat.

Suasana kota kecil di Korasia cukup nyaman disaksikan, jauh lebih menenangkan, lebih hangat ketika lanskap taman dan musik ringan. Begitu kental romansa di bagian ini, namun masih ringan untuk dinikmati.

Semakin lama cerita berjalan, semakin lupa bahwa cerita ini berangkat dari web series. Sebab mulai hilang kesamaan cerita, dialog, dan sebagainya. Semakin nyaman menonton dengan ekspektasi baru bahwa hadir cerita yang berbeda.

Film yang mengangkat perjalanan waktu ini tampak seperti drama cinta biasa di awal, sebelum saat Sore memulai beraksi dengan perjalanan waktunya, saat segmen berfokus pada Sore. Tak disangka ternyata, perjalanan waktu disini jauh lebih masuk akal dibanding seriesnya. 

Saya tak belajar struktur film, tapi Yandy Laurens berusaha mengotak-atik struktur cerita yang biasanya mengeksploitasi konflik di tengah film, justru memanfaatkannya untuk ditempatkan pada akhir. 

Dalam struktur cerita film biasanya terdapat resolusi, dimana konflik sudah mulai menemukan titik akhirnya. Ternyata sentuhan terakhir, merinding, sains-fiksi, music scoring, Oppenheimer, Kimi no Nawa. Itu yang ada di kepala saya. Entah bagaimana mendeskripsikan bagian ini, tapi benar benar mematahkan ekspektasi, dari sedih sendu hingga merinding terpaku.

Film ini jauh lebih reflektif, mengeksplorasi perasaan, hubungan yang sehat, dan fase hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun